14. Winata's Dream

3.9K 271 13
                                    

Halo, apa kabar??? Semoga sehat selalu ya~

Chap agak panjang! Baca pelan-pelan. Hehe udah nembus 3k views aja, tysm guys 💙 kemaren juga sempet di #1broterhood. Like, tysm for u guys. Ilysm💙

Vote dulu yuk sebelum baca, aku perhatiin jumlah vote sama views aku jomplang banget.

For example, views aku 100 but yang vote cuman 25an. Itu tuh cuman ¼nya doang, sedih banget :(

kek biasa, 40 vote, 7 komen sama 140 views aku up.

Enjoy, and happy reading y'all 👀

.
.
.

Dewa duduk termenung di sofa yang ada di ruang rawat Winata, sejak kejang beberapa jam lalu Winata belum membuka matanya kembali.

Malik tengah keluar guna mencari sarapan untuk Dewa dan dirinya sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Dewa sendiri bosan karena ponselnya tengah dicharge.

Dewa membawa kaki jenjangnya mendekat ke ranjang tempat Winata terbaring, ia duduk di kursi yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit.

"Woy, Beban. Lo kenapa tadi pagi bikin gue takut? Gue gak paham sama perasaan gue sendiri, gue benci dan takut kehilangan lo at the same time." ujarnya, ia memandang wajah damai Winata.

Tak lagi terlihat gurat kesakitan seperti semalam, tubuh pemuda itu pun tak bergerak. Winata tertidur dengan tenang, tak seperti tadi pagi ketika tiba-tiba tubuhnya mengejang hebat.

"Beban, lo tuh sebenernya capek gak sih? Hidup kayak gini, like ... Lo penyakitan, Abang sama Adek lo benci sama lo, dan lo masih bertahan?" Pertanyaan itu secara tiba-tiba terlontar dari mulut Dewa.

"Kalau gue yang ada di posisi lo ya, gue kayaknya udah nyerah deh. Kok lo masih mau hidup sih?" Netranya menatap lurus ke arah pintu kamar rawat Winata.

"Karena Tuhan belum jemput Kakak, Dewa."

Dewa terkejut tentu saja, ia menunduk, menatap Winata yang kini tengah menatapnya sayu. Ah, tatapan itu. Tatapan yang paling Dewa benci.

"Nanti kalau waktu Kakak udah selesai, Kakak harap kamu gak ngerasa kehilangan Kakak, ya?" Winata berujar.

"Gue? Kehilangan lo? Jangan ngimpi, kalau pun boleh gue minta, gue mau lo cepetan mati. Gue muak tinggal sama pembunuh Bunda kalau lo mau tau, udah gitu lo tuh penyakitan tau gak?" Winata memejamkan matanya sejenak kala rasa sesak tiba-tiba menyergap dadanya.

Bukan, bukan karena asmanya. Melainkan karena ucapan Dewa, sangat menyakitkan.

"Dewa, Kakak minta maaf. Udah buat kamu kehilangan Bunda, maafin Kakak." Rasa pening mulai menyerang kepala Winata.

"Maaf lo bilang? Ma—"

"Kakak tau, Dewa! Kakak tau! Maaf Kakak gak akan pernah buat Bunda balik lagi ke kita." Winata dengan segera menyela ucapan Dewa, sedikit membentak adiknya itu di awal penuturannya.

"Itu lo tau, asal lo tau ya. Gue yang paling sakit waktu Bunda meninggal, gue yang paling terpukul bajingan!" Dewa mengepalkan tangannya.

Dewa selalu menganggap jika dirinya yang paling hancur ketika bunda pergi, tanpa tau sehancur apa yang lain. Tanpa tau semati-matian apa Malik menahan dirinya agar tak bunuh diri dan menyusul sang istri.

WINATA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang