16. Suatu Saat

3.3K 280 12
                                    

Hay, apa kabaaar? Semoga selalu dalam keadaan yang baik ya💙

Malming with Winata again, yang jomblo yang jomblo? Mending malmingan bareng chap terbaru Winata, wkwk.

Vote dulu sabi dong, kek biasa aja ya. 150 views, 45 vote sama 10 comment aku langsung up! Semangat kita :)

Enjoy, and happy reading y'all 👀

.
.
.

Dewa terkejut bukan main ketika sosok 'Kak Nata' yang selama ini Cakra banggakan itu adalah Winata, siapa yang menyangka? Dan bodohnya Dewa tak terpikirkan nama Winata.

"Heh dugong! Jawab anjir! Diem aja, bisu lo? Ngapain lo masuk ke kamarnya Kak Nata?!" Cakra menatap Dewa heran.

"Cakra," panggil Winata, membuat Cakra menoleh.

"Kenapa Kak? Ada yang sakit ya? Coba kasih tau ke Cakra. Biar nanti Cakra usir rasa sakitnya." ucap Cakra, nadanya berubah seratus delapan puluh derajat.

"Dewa itu Adeknya Kakak."

Cakra melongo, ia lantas tersedak ludahnya sendiri. Sedangkan Nando kini menatap Dewa mengintimidasi, ia tau betul betapa bencinya Dewa pada Winata.

"Kak? Jadi, dia Adek yang selalu Kakak bilang lucu, gemesin kayak bayi? Dia Kak? Si Dewa?!" Cakra berucap heran.

Winata terkekeh pelan mendapati reaksi tersebut, "Kamu juga gak kalah kayak bayi tau, kamu, 'kan bayinya Bang Nando sama Kak Nata." ucap Winata.

Dengan segera, Cakra menghambur ke dalam pelukan Winata. Menangis di sana, Dewa menatapnya jengah. Haruskah matanya menonton adegan menjijikan ini?

"Drama banget bangsat." ucap Dewa, tanpa sadar dirinya mengumpat.

"Jaga omongan lo, jangan pernah ngomong kata-kata toxic di depan Adek gue." Nando berujar datar, kedua tangannya menyilang di depan dada.

Dewa menatap Nando tak suka, ia benci ketika diintimidasi.

Lima belas menit berlalu, kini Cakra dan Dewa tengah pergi ke kantin. Setelah sebelumnya Cakra mengeluh lapar dan berakhir dengan menyeret Dewa menuju kantin rumah sakit.

"Buka mulut lo." perintah Nando, satu tangannya memegang semangkuk bubur sedangkan tangan yang lainnya memegang sendok.

Bibirnya monyong beberapa centimeter, udara bertiup dari bibir itu. Meniup bubur hambar itu agar cepat dingin, ah atau lebih tepatnya agar hangat.

"Gak mau, gue mual Nan." tolak Winata, ia menggelengkan kepalanya.

Nando menghela napas kasar, lantas meletakkan mangkuk itu kembali ke atas nakas. "Sedikit aja, atau enggak lo mau makan apa? Biar nanti gue cariin." ucap Nando, menawarkan sebuah pilihan untuk Winata.

"Gue mau balik aja Nan, gak betah gue di rumah sakit. Bukannya sehat, yang ada gue malah makin sakit." ucap Winata.

"Iya nanti pulang," Netra Winata berbinar senang, "Kalau udah diizinin sama Dokter tapi." Seketika binar senang itu redup, berubah menjadi tatapan kesal dan bibir yang dikerucutkan.

"Ya lo kenapa sih ngeyel banget?" omel Nando tak habis pikir.

"Eh, si Dewa bukannya sering bikin lo sakit hati juga ya? Kok dia mau sih nungguin lo di sini?" Nando membuka suara setelah hampir sepuluh menit hening melanda keduanya.

WINATA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang