BAB 3- SEBUAH PESAN

6 3 0
                                    

"Hei, kemana mereka itu?" Riana berbicara sendiri, dengan mengamati pintu depan, terbuka setengah. Berpindah menatap penjelas guru bahasa Inggris.

"T-tunggu sebentar lagi, Na. Sedikit lagi, pasti sampai."

"Hei, kasih perban saja sampai selama ini. Pasti tidak ada yang beres."

Ratih hanya bisa menengok sahabatnya, cemas. Ia tidak tau apa yang harus dilakukan selain menenangkan. Sejak tadi, terus memikirkan Aldi Mahendra.

Aku hanya bisa menatap pelajaran di papan tulis. Guru bahasa inggris, menjelaskan panjang.

Dua jam berlalu, saatnya pelajaran tadi, berakhir juga. Guru bahasa Inggris, sekaligus sisa-sisa murid disini, berhak meninggalkan kelasnya, untuk pulang.

Menyisakan kami bertiga, tetap menunggu kedatangan setelah Fatma memberitahu di dalam grup gengnya.

"Sebentar lagi akan sampai." Bagas  membaca lantang, dari pesan—baru saja masuk.

Ratih hanya bisa berharap, Aldi tak akan menjauhi geng ini.

Seseorang mengetuk dua kali pintu kelas, mengakibatkan mereka berdua membukanya dan ikut masuk.

Kapas perban, telah menempel di pelipis wajah laki-laki itu. Berjalan menuju bangku belakang, dan mengambil tas. Ia tak bercakap kepada kami, bahkan setelah ia sampai.

Diikuti Fatma, menuju kumpulan kami. Ia menduduki kursi, tepat samping Bagas Raditya. Mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan menghirup aroma kelas sore.

"Kau mau kemana lagi?"

"Pulang." Anak itu berjalan menenteng tas, saat Fatma bertanya kepadanya. Menghampiri pintu, berlekas pergi.

"Benar-benar, kau membuat emosi saja."

"Hei, apa yang terjadi?"

"Apa yang membuat dia seperti itu, Fatma?" Ratih ikut bertanya.

"Ceritakan tentang tadi." Bagas berkata.

"Sebentar-sebentar." Fatma mengangkat tangan. "Sebelum kalian berisik bertanya banyak, kalian punya air tidak? Aku bahkan tidak bisa minum gara-gara dia."

Bagas cepat memberikan botol airnya, dan Fatma meneguk begitu ia selesai menerima darinya.

"Cepat ceritakan." Bagas berkata setelah Fatma meletakkan botol tadi, diatas meja.

"Kau sabarlah dulu." Fatma menarik napasnya dan mengeluarkan lagi.

Semua tampak tegang, begitu ketua kelas membuka mulut. Terutama Ratih Maheswari, menggeser sedikit kursinya.

"Kau bilang kalau Aldi akan kembali ke kelas kan?" Fatma berbalik menatap Bagas.

"Iya. Dia bilang sendiri."

"Kau tau? Aldi itu dibawa emosinya oleh si siswa itu. Pertama kali yang mulai itu, siswa beda kelas. Kata dari guru tadi, berbicara tentang orangtuanya. Baru pertama kali, mendengar cerita di bk tadi."

"Dia memang tidak suka ada siapapun yang membicarakan orangtuanya." Bagas berpendapat setelah Fatma menceritakan ulang kisah tadi.

Lamunan panjang, membuatku semakin sedih, mengingat masa lalu Aldi Mahendra. Anak laki-laki yang menanggung beban dari kedua orangtuanya, sebagai harapan terkahir di keluarganya.

"Semoga, dia tidak apa-apa." Ratih mengucap kecil.

Fatma berdiri dan mengambil tasnya lalu disusul aku serta Riana, mengikuti Fatma, berjalan bersama.

"Kau bertiga pulang saja dulu. Aku harus menemui guru lagi."

"Setiap hari bertemu terus. Tidak bosan, kah? Aku jadi kau, pasti minggat dari tugas."

4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang