Citra baik Sekar Wulandari, sangat dipertanyakan dalam grup geng ini.
Semuanya sedang bertanya-tanya akan sifat gadis tadi, menyapa hangat. Sifat-sifatnya yang dulu, seperti ikut menghilang bagai debu yang berterbangan di ruang-ruang udara.
"Hei, benar-benar berbeda, sekarang."
"Kau benar, Na. Bagaimana tanggapanmu soal ini, Ratih?" Pertanyaan Fatma, telah muncul saat ia selesai mengetik di grup tadi.
"A-aku tetap resah, nantinya dia akan mengunciku lagi."
"Kalau kau ada sesuatu, kirimkan pesan ke kami segera. Dan selalu membawa ponselmu. Ingat itu."
"Hei, itu benar kata Fatma. Kau meninggalkan ponselmu di tas. Untung saja, Bagas membalas panggilanku."
"Aku? Kenapa denganku?" Bagas memunculkan dirinya—pesan baru, telah masuk.
"Kau diam saja, Gas."
"Nasib buruk, ketua kelas menyuruh untuk membungkam. Tidak ada harga diri disini."
Riana terkekeh membaca lagi, pesan dari Bagas Raditya.
Fatma melanjutkan, "walaupun sifat Sekar telah berbeda, tetap saja harus waspada dengannya. Aku punya firasat, dia hanya berpura-pura baik."
"Kamu benar, Fatma." Ratih membalasnya.
"Kalian berempat dengar. Jangan bocorkan informasi apapun dengan Sekar, apapun itu. Kau berempat harus menahan. Sebaik apapun dia itu, seburuk hewan liar di jalanan, benar-benar harus berhati-hati."
"Siap ketua." Satu per satu balasan pesan, telah masuk. Kalimat sama, muncul di grup geng kami.
"Hei, Gas. Aldi lagi tidur?" Riana menengok belakang. Dua laki-laki, duduk dengan menyenderkan punggung di dekat tembok.
"Sejak tadi, begitu."
"Pantas saja, tidak berbicara di sini."
Perhatianku teralihkan dengan masuknya Sekar Wulandari, telah berdiri lama di luar.
Melangkah kakinya, melewati kami berdua. Tidak menengok, hanya lurus menatap depan. Menarik kursi, dengan Aldi dan Bagas, yang berada di belakang Sekar Wulandari, secara langsung.
***
Kelas X-A KULINER, menjadikan tempat paling tidak favorit menurutnya.
Pelajaran seterusnya, akan segera dimulai bersamaan dengan kedatangan guru bahasa Indonesia.
Tapi, yang kami dapat bukanlah pak guru besar. Melainkan Bu Mega, selaku pelajaran praktek memasak.
Ia telah mengganti bajunya menjadi seragam chef, merah luntur. Berdiri, menatap anak didiknya.
"Selamat pagi, mendekati siang hari. Hari ini praktek, sudah dimajukan menjadi jam sekarang. Silahkan berganti baju, dan ibu akan menunggu di bawah."
Fatma berdiri, saat bu Mega hendak meninggalkan kelas. "Bukankah, sekarang guru bahasa Indonesia, ya bu?"
"Ibu lupa memberi informasi, karena guru kalian, saat ini sedang rapat, jadi ibu pakai untuk praktek. Kalian mau pulang cepat, kan?"
"Mau, bu!" Seru belasan orang, menjawab.
Pelajaran ini, yang awalnya harus tenang, harus dikejutkan dengan kegiatan melelahkan, serta menguras energi.
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Teen FictionWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...