BAB 9- MEREKA BERTIGA

4 3 0
                                    

Kantin sekolah sepi, membuat Fatma semakin berisik di sini.

"Kau diam saja, Gas. Urus dulu, para fans mu." Fatma memperhatikan adanya dua-tiga siswi, seperti mencari seseorang. "Kau tau, mereka sangat mengganggu."

Bagas segera menyadari ucapan dari ketua kelas dan menyuruh Aldi, ikut bersamanya.

"Aku malas. Kamu saja," Aldi menyingkir tangan Bagas, saat dia menggeret tubuhnya dari kursi panjang.

"Cepatlah, ayo." Bagas bersikeras menggeret tubuh anak berkacamata.

Aldi menghembuskan nafas panjang. Dengan tubuhnya malas, ia tetap bangkit. Mengikuti Bagas di depan, yang semakin menjauh.

"Syukurlah, mereka tidak mendengar rumor ini." Fatma mengelus dadanya, menandakan ia bersyukur.

"Hei, apa benar rumornya begitu? dia dikeluarkan dari sekolah lamanya. Pantas, sifatnya jadi seperti itu." Riana menggeleng kecil.

"Aku juga tak tau, kau ini. Beberapa guru hanya menceritakan sedikit saja. Mungkin Sekar berbohong, kalau dia sebenarnya memang dikeluarkan tapi dia tidak mau memberitahu saat pendaftaran."

"Hei, sabar Fatma. Jangan emosi begitu." Riana meremas pundak Fatma. "Tarik nafas, lalu hembuskan."

"Kau ini kenapa, Na?"

Tingkah Riana dan Fatma, masih sama seperti biasanya, di mata Ratih Maheswari. Kekonyolan mereka membawa Ratih, semakin bosan menghadapi.

Dia mengalihkan pandangan, menuju area luar, dengan para murid, berjalan-jalan di luar.

Wajah perempuan, seperti melihat kearah kami, dari sisi tembok itu.

Mataku mencoba meneliti lagi, secara jelas. Sampai tidak berkedip sekali pun.

"Kau lihat apa, Ratih?" Fatma menanyaiku.

Aku menoleh, "b-bukan apa-apa." Berbalik melihat arah tembok itu. "Bukankah tadi ada orang ya, di sana? atau mungkin hanya perasaanku saja." Pikirnya.

"Sudahlah, kau berdua ikut aku kembali ke kelas. Sudah jam satu," Fatma membangunkan dirinya, mengangkat satu kaki untuk mengeluarkan diri dari kursi panjang.

Aku dan Riana tentu saja mendampingi ketua kelas. Seperti biasanya.

Mengikuti sepanjang jalanan kami, melewati lorong sekolah, lapangan, area depan pintu-pintu kelas, dan diakhiri menaiki anak tangga.

"Kau berdua, jangan dijawab benar, kalau dia bertanya tentang privasi kalian." Fatma menatapku dan Riana.

"Hei, baiklah. Tidak akan."

"Iya, Fatma. Aku tidak akan menceritakan kepadanya."

"Bagus." Fatma menahan senyumnya, sambil ia berjalan kecil lalu berhenti sebentar. "Sampai nanti kau berdua, waktu pulang."

Aku bersama Riana, berpisah sementara darinya. Merasakan tidak rela, sangat susah dihilangkan dari Ratih. Betapa ia bisa menahan agar selalu bertemu dengan Fatma, namun bangku meja menghalangi jarak kami.

Aku menuju meja kami. Baris ketiga, yang tidak pernah berubah, sejak pertama kali ia masuk ke kelas.

Tubuhku mendekati kursi, setelah Ratih menariknya. Menduduki kursi reyot, tampak agak sedikit miring.

Tidak banyak yang kami sibuk disini, selain bermain ponsel ataupun sibuk mengobrol.

"Aku baru sadar, kelas ini tidak ada cctv." Aku menoleh atas, dengan sudut-sudut ruangan tampak kosong.

Riana mengikuti arah atas yang ditunjukkan dari Ratih, sahabatnya. "Hei, kamu harus bersyukur, kelas ini tidak pernah dipantau. Menyontek pun lebih gampang."

4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang