BAB 14- MEREKA YANG TIDAK BISA DIPISAHKAN

6 3 3
                                    

Setiap praktek, pasti ada pelajaran di dalamnya. Itulah yang membuat Ratih semakin semangat menjalani. Walau terkadang tekanan yang dihadapi, harus ia telan dalam-dalam.

Aku mendatangi jalan panjang, menuju area kantin depan. Bersama Riana, Fatma, dan Aldi, kami mencoba mengecek keadaan.

Ramai, seperti biasanya. Istirahat pertama, semakin ricuh dengan kondisi yang tidak memungkinkan bagi kami untuk menyerobot masuk.

Langkah ragu, membingungkan untuk membuat keputusan yang diambil.

"Kau bertiga jadi beli tidak?" Fatma menunggu balasan. "Kalau iya, aku tunggu disini. Kalau tidak, kembali saja ke kelas."

Aku melihat kondisi ramai. Tidak ada celah bagi kami sedikitpun untuk masuk.

"Tidak." Aldi menjawab terlebih dahulu.

"Kau berdua?" Fatma melihat Ratih dan Riana, satu per satu. Setelah itu, menatap wajahku. "Kau Ratih, jadi beli tidak?"

"Eng, tidak jadi, Fatma. S-sudah penuh semua."

"Kau Riana?"

"Hei, bagaimana ya." Gadis tembam menggaruk kerudung. Menghentak sepatu, bingung.

"Kita kembali saja. Tidak ada waktu lagi berdiam disini." Aldi turut bersuara.

"Hei, tapi aku lapar ini."

"Kau tahan lapar saja. Nanti setelah istirahat kedua, baru jajan ke luar."

"Bukannya tidak boleh jajan ya?" Ratih bertanya.

"Boleh. Asalkan kau jangan ketahuan satpam saja."

Fatma menarik lengan Riana. Diikuti aku berjalan di samping gadis tembam dan Aldi berdiri di belakang kami bertiga.

Tidak ada yang kami bisa lakukan, selain menahan lapar dua jam lagi.

Aldi memberhentikan langkah mendadak. "Kalian bertiga tunggu dekat lapangan."

Ratih semakin curiga setelah dia mengangkat telepon. "Biasanya kan tidak pernah menerima siapapun di ponselnya. Ada apa dengannya?"

Lirikan tajam, terlihat pada bola mata biru laut milik Aldi Mahendra. Mengangkat kepala melihat sesuatu di atas rumah warga, dekat gedung sekolah.

"Kau kalau sudah selesai, cepat ke lapangan." Fatma mengatakan lagi. "Ayo Ratih, bantu aku pegang Riana."

Ratih termangu akan keputusan ketua kelas. Terdiam, membantu sahabatku yang lemas ke area lapangan.

Aku terus melanjutkan jalan kami, menuju area paling dalam di sekolah. Membopong tubuh Riana ke lapangan—dikelilingi gedung-gedung sekolah.

"Kau pelan-pelan meletakkan." Suruh Fatma, selama Ratih berusaha menjatuhkan lengan Riana Ancara Tiara.

Fatma pun mengikuti gerakan dariku. Melepas rangkulan dari Riana, ke bawah.

"Bruk!"

Pekerjaan pertama kami telah selesai. Menduduki pundak-berundak tangga kecil, dekat lapangan. Meluruskan lutut kaki.

"Kau ini, Na. B-buat kami... Capek saja." Fatma terbata-bata mengomentari. Menaruh dua tangan ke belakang, di antara sisi punggung.

Napas berat, menjadikan keringatku tidak berhenti keluar dari pori-pori kulit.

"Hei, Aldi memberitahu kalian apa tadi?" Riana mulai memperbaiki posisi duduk. Napas tersendat, berjalan lancar. Menontonku dan Fatma.

"Kau kenapa lihat aku?" Fatma memberi tatapan tegas kepada Riana. "Kau tanya aku? aku tidak tau kemana dia."

4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang