Setiba Ratih berjalan pulang menuju gerbang paling depan dari area komplek perumahan, mas Angga menemuinya.
"Sudah pulang, rupanya," mas Angga berbicara kepadaku setelah satu mobil kecil merah, memasuki komplek perumahan.
Aku mengangguk kecil, seraya berjalan menuju jalan lurus didepan-ku.
Melihat Ratih hanya menendang baru kerikil, mas Angga mendekatinya. Ia mengenakan seragam satpam berwarna biru dongker.
"Ratih?" Mas Angga menepuk sebentar, pundaknya.
Aku terkejut dengan perlakuan barusan. Mas Angga yang khawatir denganku, takut kenapa-napa. Apalagi dia tau bahwa aku selalu sendirian berjalan kaki, tanpa ayahku yang sibuk bekerja.
"Astaga, kamu harus banyak melihat sekitar, Ratih."
"Iya, aku mengerti."
"Kalau ada masalah di sekolah, ceritakan saja padaku. Aku akan menjadi pendengarmu."
Aku menoleh lagi. Rasanya berbeda jika dia sudah mengatakan serius. Serius kepadaku.
"Bagaimana belajarmu di sekolah?" Mas Angga bermain tongkat kecil seukuran panjang lengannya.
"Baik."
"Itu saja? pendek sekali."
Aku mengangguk dua kali. Mengatakan bahwa semuanya adalah kebohongan yang ditutupi.
"Saya masuk dulu." Ratih memberitahu bahwa dia tidak ingin berlama-lama dengannya.
Mas Angga menyetujui. Mempersilahkan gadis tirus untuk memasuki rumah barunya. Langkah kaki berat, agak ditekankan.
Security baru menganggap bingung, selama anak sekolah tadi berjalan masuk. Teman masa kecilnya yang kembali menemui diriku usai tiga belas tahun yang lalu.
Wajahnya sungguh berbeda dari yang ku tau. Tubuhnya tinggi, melebihi tinggi dari Bagas Raditya maupun Aldi Mahendra. Matanya sipit pada bagian ujung.
Ratih mengarahkan pandangan lagi ke jalan depan. Paving block terpasang rapi. Tidak ada keramaian ataupun penjual makanan gerobakan di sini.
Satu rumah aku datangi. Nomor sembilan tercetak tebal.
"Assalamu'alaikum," Ratih membuka pintunya. Menutup lagi.
Hening, didapatkan setelah mendengarkan salam darinya sendiri. Tentu, tidak ada yang menjawab. Suara kulkas menyala, menjadi suara pertama yang ku dengar.
Saat ini, aku meratapi apa yang telah diambil dari Sekar Wulandari. Geng peyot telah berpecah.
Satu hal tersulit yang ku terima sekarang adalah berhati-hati kepada teman terdekat sendiri.
Bukan soal yang mudah baginya untuk menerima kenyataan. Karena dia telah membuka rahasia kami lagi. Yang paling susah, disini. Mengancam untuk menyebarkan dan membuat geng peyot akhirnya runtuh.
"Bruk!"
Aku menghantam diriku untuk naik ke sprei kasur. Seharian bersekolah, menurunkan semangat untuk kesekian kalinya.
Sekarang aku menatap plafon langit kamar. Putih, tidak ada bercak hitam. Tapi sarang laba-laba menggantung di sudut kamar.
"Laba-laba yang bergerak... Laba-laba yang seperti Sekar. Menjebak musuh sampai ke sarangnya. Melekatkan di atas jaring-jaring lengket. Menikam dari belakang lalu mematikan."
Aku memikirkan lagi. Dalam penglihatan kedua mataku, laba-laba melilitkan serangga ke jaringnya, untuk dimakan.
"Benar. Sekar seperti hewan laba-laba kecil. Luarnya cantik, namun dalamnya berhati busuk dan licik."
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Teen FictionWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...