"Aku harap pikiran akan trauma itu, bisa dilupakan dengan apa yang pernah kulihat di mataku." ~Ratih Maheswari.
***
Pagi menyapa kepada dunia, bahwa tiba saatnya matahari harus memperlihatkan dirinya, diatas. Kemunculan akan kedatangan, memberi tanda bahwa harapan juga akan muncul.
Gadis itu telah berangkat ke sekolahnya. Sepertinya, ia akan bersiap-siap melihat kejadian apa kali ini, yang akan menimpa mereka lagi.
Lorong lantai satu, maupun dua, telah dipijak oleh sepatu Ratih Maheswari. Kelas sebelas, menjadi awal yang baru baginya.
"Belum ada siapapun disini." Ratih menggerakkan kepalanya, kiri-kanan dan kembali stabil menghadap tengah.
Suara decitan kursi kayu tua, memenuhi kelas X-A KULINER. Tidak ada yang berbeda sejak awal kedatangannya. Bahkan cat tembok, mulai banyak yang terkelupas.
Anak itu menduduki kursi dan bermain ponsel.
"Belum ada pesan yang masuk, dari mereka." Jempol Ratih, terus bergerak ke atas.
Hampir setengah jam, ia menunggu sabar. Dilihatnya, satu per satu murid, juga memenuhi bangku masing-masing.
Sahabatnya turut berdatangan bersama. Melakukan kegiatan rutinitas harian di kelas, yaitu berkumpul lagi.
"Bagaimana? Kau bertiga bisa kirim pesan padanya? Hampir bel masuk, dia tidak ada."
"Dia selalu sibuk, Fatma. Rileks-rileks dulu. Santai." Bagas mengangguk pelan.
"Apanya yang santai? Kau itu terlalu cuek dengan laki-laki itu. Bukannya dulu awal sekolah, kau dengannya sangat lengket? Sekarang berbeda jauh."
"Sekarang sudah beda situasi."
"Sama saja. Kau dulu juga selalu bersama dengannya walaupun kalian sering berkelahi berdua." Fatma bercerita lagi. "Ratih belum pernah melihat Bagas dan Aldi, pastinya."
Ratih menoleh, setelah ketua kelas menyebut namanya. "Eh? Kalau itu, iya."
Bagas melihat Riana meletakkan kepalanya diatas meja. Bermain ponsel.
"Tidak bawa makanan lagi, Riana? Subsidi makanan gratis, sedang tersendat. "
"Kau ini diam saja, Gas. Lagi sedih-sedihnya, kau malah mengganggu Riana. Awas saja."
Bagas menuruni meja—tadi ia gunakan sebagai tempat duduk. "Kembali saja, daripada harus menerima kepahitan hidup disini."
"Bagus tuh. Aku juga harus mengurusi beberapa guru hari ini. Kau Ratih, jangan dengarkan Bagas. Dia memang menyebalkan."
"Iya, Fatma."
"Oke, sampai nanti kau berdua."
Setidaknya hari ini ada sesuatu yang bisa meringankan kesedihan. Fatma dan Bagas, yang tidak pernah akur sekalipun. Harusnya Riana juga ikut, namun sahabatku sangat merindukan Aldi Mahendra.
***
Sisa-sisa waktu sebelum pelajaran pertama, telah berakhir. Menyisakan beberapa detik, guru matematika yang semakin cepat bergerak ke arah kami.
Aldi Mahendra, terlihat bernafas cepat tak karuan. Menghentak papan kayu, tepat di samping dan bersikap normal dewasa.
"Riana! Bangun!"
"Ada apa, Ratih? Jangan mengganggu, dulu." Riana tetap belum melihat wajah Ratih.
"Lihat dulu, siapa yang datang." Bisik Ratih, setelah ia mengetahui siapa yang datang. Menyenggol lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Ficção AdolescenteWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...