BAB 23- ADA CINTA DI PERPUSTAKAAN

3 2 2
                                    

Tiga jam terlewati cukup baik.

Meninggalkan beberapa kali kesempatan untuk kami mengejar tugas matematika. Waktu yang tak banyak, harus kami kejar dalam istirahat kedua.

"Hei, aku menyontek punyamu saja, Ratih." Riana tak mau menggerakkan tubuhnya untuk mengikutiku dan Fatma.

"Kau ini selalu saja. Tidak boleh." Fatma menutup mata dan membuka lagi.  "Kau kalau tidak mau, tinggalah sendiri di sini. Kau tidak boleh melihat jawaban dari kami, kau tau itu."

Ratih memperhatikan mereka.

Fatma yang tegas, selalu memberikan pengajaran bahwa gadis tembam harus berusaha sendiri. Kalau menyontek pun, dia akan tetap gagal pada ujian-ujian sekolah.

"Hei, aku akan bersiap-siap." Riana mengambil langkah malas. Tubuhnya sempoyongan selama dia bergerak.

"Kau cepatlah." Fatma menunggu.

Riana berdiri, "hei, ayo."

Fatma mengetahui setelahnya. Ia berjalan lebih dulu dan aku berdiri di samping. Di belakangnya berdiri gadis tembam dengan pipi gembulnya.

Lorong dua terlewati dengan kerumunan orang. Sengaja menempelkan kepada pembatas dinding.

Bagas dan Aldi berdiri di tengah orang-orang yang melingkar saat kami melewatinya.

"Kau berdua jangan lihat itu." Fatma menunjuk ke dua laki-laki.

Aku melihat apa yang ditunjukkan dari ketua kelas. Tidak bisa berkata apa-apa.

"Hei, tidak ada akhirnya berjumpa fans terus." Riana menggeleng heran. "Hei, sudah lupa sekolah, mereka."

"Kau benar, Na. Menyebalkan." Fatma setuju dengan ucapan gadis tembam. Matanya menyipit sinis.

Sang ketua kelas mengambil langkah lagi. Melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti.

Sebelum sampai pada area wc, perhatianku terambil alih dengan jalan lainnya. Sebelah kananku.

Disanalah terdapat Sekar Wulandari, berbincang dengan tiga orang siswi.

"Apa yang dia bincangkan, ya?"

"Hei, lihat apa?" Riana menepuk bahuku.

Fatma memutar kepala, mengarah ke sampingnya. Ikut melihat pandangan menuju gadis dengan tiga siswi di sana.

"Bu-bukan apa-apa. Ayo, lanjut jalan lagi." Ratih mengibaskan tangan. Bercanda soal tadi.

"Kau berdua berhati-hati dengannya." Fatma mengawasi.

"Hei, kami tau." Riana membuat suara pendek. "Hei, ayo jalan lagi."

Aku terdiam setelah itu. Jalan yang berhenti, dikembalikan meneruskan lagi.  Berkali-kali ketua kelas katakan untuk menjaga jarak darinya.

Aku masih tak paham, setelah apa yang dia lakukan kepadaku, setelah kejadian pertama.

Mengunci dalam gudang gelap.

Semakin lama, jalanan yang terasa membosankan, mengantar kami kepada pintu depan ruang perpustakaan.

"Kau berdua lepas sepatunya." Fatma memergoki aku dan Riana. Menyentuh pegangan pintu.

"Hei, astaga hampir lupa." Riana memejamkan matanya dan membuka lagi.

Aku turut melupakan hal sederhana ini. Lagipula, yang kulihat di dalam, pada bagian bawah, semuanya tertutup karpet merah.

Ratih mengangkat kepalanya lagi. Beralih arah, membantu dirinya memasukkan sepasang sepatu pantofel ke rak.

Aku buru-buru mengikuti dua sahabatku. Telah masuk.

4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang