Sejak tadi, mereka berdua masih berdiri di sana. Dekat pintu keluar dan wastafel pencucian tangan, Ratih mendengar dari dalam kamar mandi.
Terpisah dari dua orang.
"Heh, Riana. Ajari Ratih untuk belajar mendengarkan orang lain dong. Dia kebanyakan kotoran di telinganya. Sampai budeg begitu."
Gadis berkerudung, pertama kalinya mendengarkan ucapan yang semestinya tidak boleh dikeluarkan.
"Hei, apa yang kamu bicarakan barusan? sangat tidak sopan, hei. Apa yang kamu tanyakan tentangnya, apa tidak membuat sakit hati?"
"Salah dengar, mungkin. Bukan kata seperti itu. Hanya saja, perlu ada perbaikan darinya. Harus cek berkala."
"Hei, aku tidak mengerti maksudmu."
"Pasti tau, nantinya."
Sekar tersenyum sedikit. Mengering wajahnya. Membuang tisu basah ke tong kecil di sebrang.
"Riana... Riana... Begitu heran, kenapa tidak cari teman yang lebih baik daripada perempuan pendek seperti dia."
Riana memajukan dirinya. Kepalan tangan, telah terpasang rapat. Siap menghantam kapan pun.
Sekar mewaspadai darinya. Melirik kearah tangan, dibawah gadis tembam. Sekaligus membawa ransel yang jatuh diatas lantai.
Menjauhi gadis tembam.
Sebelum pergi, Sekar memberi kalimat kecil yang ia berikan ke kuping kanan untuk Riana Ancara Tiara. Berbisik kecil, memajukan badan. "Semua mengawasi apapun."
"Oke, sampai jumpa besok."
Sekar membuka pintu di depan. Menutup lagi, setelah ia meninggalkan gadis tembam.
Sendirian. Kamar mandi menjadi sepi lagi.
Kriek!
Suara pintu menyambut seseorang yang datang. Ratih, menurunkan ekspresi wajah. Berat, ia coba tahan semaksimal mungkin.
"Hei, Ratih." Riana mengecilkan bicaranya. "Ka-kamu, baik-baik saja, kan?"
Aku menahan senyum. "Iya, aku baik-baik saja, Na." Berjalan menuju wastafel.
Rasa segar, terasa di wajahnya. Gadis tirus masih mengingat pembicaraan dari Sekar.
Dari mata bulat, air keluar di sisi kelopaknya. Menetes mengenai permukaan keramik porselen. Setidaknya, Ratih bisa mengeluarkan perasaan terdalam yang ia dengar barusan.
"Hei, Ratih." Riana mendekatiku. Mengelus pelan, selama sahabatnya menangis. "Maafkan aku, kamu jadi harus mendengar kata-kata itu."
"Iya, terimakasih."
Ratih membilas tangisan. Menutupnya lagi dengan wajah bahagianya.
"Hei, pakailah." Riana menyerahkan selembar tisu bersih yang dia ambil dekat kaca.
"Iya." Ratih menerima.
Selama Ratih membersihkan dirinya, Riana bercerita lagi tentang Sekar yang dia temani tadi.
"Hei, aku ingin menghajar dia, tadi. Kamu tau, aku sempat membuat anak itu hampir ketakutan karena membuat pukulan untuknya."
"Aku beruntung punya kamu, Na. Memiliki kekuatan pukulan, namun kamu ambil untuk menahan emosimu. Itu yang membuat aku suka dari sifatmu."
Ratih mengambil tas yang dibawa dari Riana.
Pulang sore membuat kami berdua sedikit mengalami keterlambatan kembali ke rumah.
Rasa menyakitkan, membuat jejak jelas di perasaan Ratih Maheswari. Ia harus menerima semua ucapan sakit, dari salah satu mantan temannya.
Sekar Wulandari yang sekarang menjadi musuh utamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Teen FictionWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...