Tiga jam berlalu mengkilat.
Perempuan pada bangku sekolah, menguap ngantuk sejak tadi. Pikiran terisi dengan keanehan guru bahasa Inggris dan dia harus terus belajar.
Rasanya, guru Indonesia, tidak berhenti mengoceh ceritanya. Memutus untuk terus membaca sesuatu di buku yang harus kami pegang.
"Hei, Ratih." Riana memergoki diriku, menatap barisan kalimat panjang. Buku tebal harus di pelajari. "Ini untukmu."
"Permen?" aku merendahkan suara.
"Hei, kamu suka mengantuk. Kalau kurang, nanti ku tambah." Riana berbalas membisik. Menarik dirinya, kembali berpura-pura membaca.
Tumpukan permen rasa mint, berada di atas tanganku. "Terimakasih." Menoleh ke gadis tembam. Kembali melihat depan buku.
Semua pemberian darinya, aku masukkan dalam saku rok abu-abu. Tidak ada masalah disini.
Satu lahapan, gadis tembam masuk ke mulutnya. Satu permen telah termakan, selama guru kami mengawasi pergerakan anak didiknya.
"Kamu!" seru ia berdiri. Menyipit matanya, dengan jalan cepat. Berkunjung kepada kedua anak murid pada baris ketiga.
Aku tidak bisa mengedipkan mataku. Rasa tegang, menyelimuti. Buku berdiri, tidak diturunkan lagi.
"Bapak lihat, kamu makan diam-diam. Itu benar?" Melotot kepada gadis tembam, di dekatnya.
Aku mencoba membantunya.
"Itu... Anu pak... Bukan begitu..." Ratih terbata-bata menjawab.
"Kamu diam saja." Pak guru melihatku dan mengarah langsung ke sahabatku. "Bapak lihat tadi, kamu makan sesuatu. Itu benar?"
"Bukan bapak. Saya dari tadi hanya menahan kantuk, karena pak guru terus menerus menyuruh kami membaca."
Pak guru melihatku. "Apa jawabannya benar? Kamu yang di samping."
"Be-benar pak."
"Yasudah, kalian lanjut membaca." Pak guru mengawasi duapuluh murid. "Sampai disini, apakah ada yang ingin ditanyakan?"
Tidak ada yang bertanya, selain ketua kelas mengacungkan jarinya. "Pak! sudah waktunya guru bahasa Indonesia berakhir. Bapak tidak mau menyuruh kami pulang?"
Pak guru melihat ketua kelas. Balik menatap bawah. "Jam berapa ini sekarang?" Tanya pak guru, membuka jam tangan yang tertutup lengan panjang.
"Setengah empat, pak."
Bapak bahasa menuju mejanya lagi. Mengelus jidat bergaris-garis. "Yasudah, pelajaran kali ini, kita tutup dengan khidmat. Terimakasih untuk hari. Sampai jumpa di lain kesempatan."
"Terimakasih banyak, pak guru." Fatma mengatakan terlebih dahulu. Diikuti sembilan belas murid disini.
Meninggalkan ruang kelas lebih awal. Lebih cepat daripada aku dan Riana.
Aku memasukkan semua buku yang tersisa di meja, maupun kolong gelap dibawah.
Ketakutan selanjutnya adalah mengambil sesuatu dalam laci gelap. Seperti mengambil barang di mistery box. Tidak tau ada apa saja disana.
"Tidak ada apa-apa, ternyata." Ratih berbicara sendiri. Tertawa kecil tanpa alasan.
"Hei, kau sedikit seram, kulihat." Riana mencibir seusai aku memasukkan alat tulis.
Raut wajahku berubah serius, setelah ia memataiku. "T-tidak. Kamu salah lihat, Na."
"Hei, terserahlah katamu." Riana membangkitkan dirinya. Menarik tas, masih jatuh di dekat kursi. "Hei, ayo pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Teen FictionWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...