Titik tetesan air hujan masih menampung di sekolah ini. Gerimis kecil memberi syarat, dia belum usai menyelesaikan tugasnya. Kubangan air membentuk beberapa cincin lingkaran kecil, selama gerimis mengenai tempatnya.
Lamanya, kami menunggu, tiba giliran Riana membawa sesuatu di kedua tangan.
"Kau ini membuat kami lama menunggu. Koperasi, juga tidak begitu ramai."
"Hei, aku minta maaf." Riana menunjukkan giginya. "Aku bawakan pop mie, untuk kalian berdua, masing-masing."
"Mie lagi?" Fatma menatap aneh.
"Hei, hujan-hujan begini, enaknya makan mie berkuah. Kuah kaldu, terasa membahagiakan saat memakan sambil melihat hujan."
"S-sudah Fatma. Enak juga makan mie begini."
"Kau kan selalu mengikuti apa kata Riana, apa perutmu tidak usus buntu, Ratih? kau berdua selalu makan mie, kulihat."
"Perutnya dia sama seperti perutku. Tahan banting."
"Kau ini benar-benar." Fatma menggeleng heran. "Lalu kau makan apa, kalau kami dapat dua mie?"
Riana mengelap tangan basahnya. "Hei, tunggu dulu. Aku akan kembali lagi." Riana membalik tubuhnya dan menuju koperasi lagi.
Tiga menit berjalan cukup lama, bagi kami, yang telah menunggu hingga detik ini dengan banyak kesabaran yang harus diuji lagi. Semakin sore, masih terasa ramai, kulihat. Yang awalnya sepi, dan hanya terdengar bunyi hujan, sekarang ramai murid mengobrol.
Riana kembali lagi untuk kedua kalinya.
"Kau tau, mie ini hampir dingin. Dan aku kedinginan." Fatma memeluk dirinya sendiri.
"Hei, maafkan aku." Riana meletakkan pop mie sebentar diatas bangku kayu, dilanjutkan mengambil lagi. "Kita berpindah tempat, naik ke lantai dua."
"Aku malas, Na. Kenapa tidak disini saja?" Fatma melemaskan seluruh tubuhnya, mengenai dinding sekolah. Memiringkan kepalanya, bosan.
"Sudahlah, hei. Aku ajak Ratih saja, dan kamu makan sendirian saja disini." Riana menjauhi sang ketua kelas. "Ayo Ratih."
Dua siswi perempuan pembawa mie cup tadi, meninggalkan ketua kelas.
"Tunggu aku, kau berdua."
Selalu saja, gadis tembam tega dengan ketua kelas. Kali ini, dia tetap dengan sifat seperti itu, entah denganku, ketua kelas, atau orang-orang di kelas, diperlakukan sama.
Tangga-tangga kecil, selalu menjadi jalur penghubung bagi kami yang harus selalu mengikuti pembelajaran di sekolah. Terkadang pegangan tangga yang seharusnya menjadi pengaman sekolah ini, tidak pernah diperhatikan.
Baut-baut pegangan hampir saja lepas, tidak ada satupun staff yang memperbaiki. Goyangan kayu, sangat terasa jika digoyang kencang. Bergerak lembek, sepertinya.
Sudah buruk rupa, tingkat keamanan ini, yang kulihat di mataku.
Lorong lantai dua, setelah kami sampai baru saja, terlihat agak sunyi-tenang. Terkecuali dua-tiga siswa laki-laki, berlalu lalang melintas dari kami bertiga, membawa mie cup di masing-masing tangan. Kepulan asap, masih saja keluar dari tempatnya.
"Hei, duduk disana saja." Tangan Riana memegang mie cup, ditodongkan ke depan. Mengarah ke sebuah balkon kecil, bersama tumpukan karton bekas, menggunung.
Kepalaku mencari apa yang ditunjukkan dari gadis tembam. Menuruti kemauan darinya, kami bertiga, memutuskan untuk mendatangi area sempit.
Balkon sepetak saja, ditutupi setengah oleh barang-barang bekas, tak berguna. Sisanya sampah sekolah, lupa untuk dibuang dan satunya lagi pot-pot tanaman mati, tidak pernah diurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Teen FictionWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...