Aku dengan tiga orang temanku, masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan. Sekar Wulandari mengancam untuk membubarkan Geng Peyot—selama ini sudah lama dibentuk.
"Heh! jawab pertanyaan dariku, kalian."
Aku tidak tau apa jawaban untuk memutuskan ketegangan agar segera cepat selesai.
Fatma melihatku, kemudian melihat kepada dua laki-laki di belakang.
"Kau! bedebah sampah!" Fatma menekan nada bicaranya. Mencekik kerah baju lagi.
Bagas berlari kepada ketua kelas. Melepaskan apa yang direnggut dari kerah baju milik Sekar tadi.
"Kau jangan mengusikku, Gas," ucap Fatma meraung setelah tubuhnya tertahan oleh Bagas Raditya.
Sekar mengeluarkan kotak remote. Menunjukkan kepada kami semuanya.
"Kau buat apa itu?!"
"Heh, jangan sampai aku terpaksa menekan tombol remote cctv untuk menyiarkan semuanya ke kalian. Berhati-hatilah dengan keputusan ini."
Ratih mencoba melihat apa yang ditunjukkan. "Sejak kapan dia memiliki alat itu?"
"Heh, Ratih! kau tidak mau membantu tiga temanmu? diam saja disana." Sekar mengomentari diriku yang belum membuka mulut.
Aku menelan air liur.
Detik selanjutnya berubah menjadi lebih waspada. Guru matematika membuka pintunya. Memperlihatkan empat orang, berdiri aneh.
"Kalian! buat apa disana? cepat kembali!"
"Akan kami kerjakan." Sekar menjawab.
Sekar yang berjalan terlebih depan, melewati empat orang yang belum selesai dengan amarahnya.
"Heh, berhati-hatilah kalian." Sekelebat pesan, terucap pada mulut Sekar, selama ia berjalan menuju pintu tengah.
Guru matematika dan gadis tadi, sudah pergi terlalu lama.
Tumbuh remaja dengan banyak persoalan, membuat diriku semakin bingung, pusing. Sekarang harus dihadapkan dengan pilihan sulit.
Apakah harus meninggalkan geng peyot karena ancaman dari Sekar Wulandari? Atau tetap terus bersama mereka dari arah jauh?
"Jangan ikuti aku." Aldi berjalan pertama kali. Menunduk kepala dan tidak mau melihat wajah kami.
Alat cctv masih menyala.
Bagas membuat batuk serak. Tangannya telah melepaskan cengkraman dari Fatma. Saat ini ikut meninggalkan tanpa berbicara apapun.
"Kau, ayo bantu angkat kursinya," Fatma memerintahkan setelah ketua kelas berhasil mengangkat satu kursi merah.
Aku mengangguk begitu ketua kelas menyuruhku.
"Kau, kutunggu di kelas. Tutup pintunya sebelum meninggalkan gor sekolah." Fatma berjalan tergesa-gesa.
Gor sekolah tersisa aku sendiri.
Ratih menekuk kedua lutut. Air mata jatuh dari sela-sela kelopak matanya. Terjun kebawah, sampai tetesan terakhir akhirnya jatuh ke permukaan lantai.
"Kami sudah berakhir." Terbata-bata, Ratih mencoba mengatakan sendiri.
Tentu saja, anak itu akan menangis. Ancaman Sekar Wulandari membawa keputusasaan dan berakhir paling menyedihkan.
Membubarkan geng peyot.
Dalam tangisan yang semakin berlarut, terdengar suara pintu terbuka. Langkah sepatu terdengar jelas. Suara lecet antara lantai dan alas sepatu, menuju kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Fiksi RemajaWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...