Semua berlalu lalang seperti garis-garis yang memudar. Mengelilingi satu gadis berkerudung, dimana dia telah berdiri sangat lama, pada jalan panjang sebelum menuju lapangan sekolah.
Sebagai murid sekolah, dia selalu berjalan melamun. Tidak adil rasanya, melihat anak-anak didepan berkerumun bahagia.
Selang beberapa waktu yang sedikit lama, aku berhenti melangkah—satu lemari kulkas terpajang di bola matanya.
Menghampiri koperasi sekolah, tiga minuman telah dibeli dengan uang sisa yang kubawa. Kali pertama, aku membawa uang jajan sendiri.
"Cctv tidak menyala merah berkedip—yang ku tau, pertanda sedang mati. Tetap harus berjaga-jaga."
Ratih menuruni pandangan. Dia berjalan lebih jauh dari alat perekam tadi.
Ujung lorong menembus ke arah kiri, terlihat sebuah pintu kelasku—selama menempuh jarak, di lorong lantai dua bagian luar. Banyak manusia, berisik di sisi kiri-kanan.
"Terus jalan saja, Ratih," aku memperingatkan diriku sendiri.
Setengah terbuka, kakiku masuk kedalam kelas sebelas. Setengah orang, melihat satu gadis berdiri sendiri.
"Lihat, dia sekarang sendiri." Bisik satu perempuan lain, kepada teman sebangku. "Kasian ya, dia sendiri sekarang. Temannya kemana tuh?"
"Jangan bicara keras, nanti dia dengar. Nanti kita yang repot." Balas siswi satunya.
Aku melewati bangku mereka pada barisan pertama. Bisikan dan bisikan, tidak didengar lagi oleh kedua kupingnya.
Mereka berdua masih membicarakan diriku yang duduk sendiri, selama Ratih menduduki kursi kosong, dan belum ada gadis tembam di sebelahnya.
Aku mengeluarkan alat tulis selama satu per satu orang, berdatangan masuk. Sekar melihatku bahagia. Aku mengerti apa yang dia lakukan.
Yaitu bahagia membuat diriku akhirnya jatuh. Tidak ada siapapun disamping-ku untuk saat ini.
Beberapa menit sebelum bel masuk, akhirnya telah usai.
Gadis tembam tidak melihatku dan langsung duduk begitu saja. Aldi pertama kali datang, kemudian disusul Bagas Raditya. Fatma datang dan dilanjutkan dengan guru bahasa Inggris.
Semua berjalan normal. Tidak ada hal seru selama pelajaran berlangsung. Para murid juga sibuk mengerjakan soal baru- saja.
Aku juga menuliskan materi untuk hari ini. Dan tiba berganti pelajaran memasak.
"Riana?" Ratih ingin menyentuh pundak si gadis tembam, depan diriku. Sepanjang berjalan kaki menuju kamar ganti.
"..." gumam gadis tembam. Menoleh sepersekian detik. Bergerak menghadap depan.
Aku tidak dapat meraih pundak dari Riana Antara Tiara. Dia berjalan sangat cepat, dan terburu-buru.
"Apa ini salahku semua, ya? sekarang, dia sudah berubah."
Kakiku terhenti lagi. Membingungkan dengan hari ini.
Semua menuruni anak tangga. Berbaris mempersiapkan peralatan tempur mereka. Sesekali mengecek apa saja yang kurang dibawa.
Aku berdiri melihat semuanya. Pada bagian belakang, sendiri.
Sekar yang sekarang lebih leluasa mendekati laki-laki bernama dengan Bagas Raditya. Aldi bermain ponsel sendiri, Fatma yang sibuk menerima telepon, dan Riana mengunyah jajanan.
Ratih menutup mulut sebentar. Dilanjutkan bu Mega menyuruh semua untuk berbaris.
Satu demi satu murid, berbaris rapi. Ratih berdiri paling depan, di deretan pertama. Mengikuti orang lain, pada belakang dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Teen FictionWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...