Motor matic milik Riana, telah diambil dari gadis tembam. Aku mengikuti sahabatku didalam parkiran sekolah. Tidak lagi di area luar sekolah.
"Hati-hati membawa motormu, Na."
"Hei, aku sudah tau itu." Riana memakai helm. "Hei, kamu jalan kaki lagi, Ratih?"
Aku memperbaiki punggungku yang pegal. "Eh iya, aku selalu begitu."
"Hei, aku antar kamu pulang saja." Riana menunduk sedikit. Memasukkan kunci ke bagian bawah.
"Tidak perlu, Na. Kamu yang kerepotan memutar arah."
"Hei, tidak masalah. Hei, aku ingin melihat rumah barumu juga."
Ratih terdiam lagi.
"Hei, parkir sekolah sudah sepi. Gerbang depan hampir ditutup. Hei, sudahlah sama aku saja."
Ratih memikirkan sejenak. Dia masih menutup rapat bibirnya. Masih bingung dengan keputusan itu.
Sembari melihat Riana memundur dan memutar motor itu, aku berpikir lagi.
"Hei, naiklah." Ajak Riana. Menatapku dari kejauhan.
Aku menyadari bahwa gadis tembam telah lama mengawasiku, yang berdiri sendiri. Tanpa menunggu lama, aku menaiki jok hitam miliknya.
"Hap!"
Kaki kananku mengangkang diatas kursi, sampai mengenai bagian sandaran kaki kecil. Satunya, mengikuti.
"Hei, sudah naik belum?"
Aku berteriak memastikan suara itu datang dari depan. "Iya! aku sudah naik!"
Mesin motor menyala kencang. Asap knalpot keluar. Mengegas motor tadi, membuat berisik.
"Hei! pegang sesuatu!"
"O-oke!"
Sandaran motor bawah telah dinaikkan. Dua tangan sibuk memegang kencang kemudi.
Riana mempercepat laju motornya.
Limabelas menit berjalan, dengan sedikit masalah yang harus dihadapi di jalan raya.
Jalan yang melengkung, terisi padat dari kendaraan berpolusi.
Motor kami, mau tak mau harus menunggu lama, karena adanya proyek jalanan yang muncul pada waktu yang tidak tepat.
"Hei, sampai kapan pun, tidak ada yang mau mengalah." Riana menyimpulkan lengan.
Aku sudah terbiasa dengan jalanan kecil. Proyek perbaikan jalan selalu saja dikerjakan mendadak. Tadi pagi, belum ada, dan sore ini baru dikerjakan.
Riana menekan tombol klason, setelah satu pengemudi motor lainnya, mengutarakan pendapat dengan berteriak. "Woi! maju! yang di depan!"
Satu tukang parkir yang bertugas mengatur jalan, ikut terjun membantu. "Maju terus! terus!" meniup peluit. "Mobil merah! maju lagi! dikit lagi!"
Space kecil depan motor kami, perlahan menjadi agak kosong. Dibantu pengendara lain, kami lolos dari kemacetan maut.
"Hei, kita sudah keluar!"
"Apa?!" Ratih mencoba mendengarkan lagi suara gadis tembam yang tak jelas.
"Hei! kita sudah keluar!"
"Iya! bagus!"
Aku melihat sepanjang pemandangan yang bergerak. Seperti garis-garis di sisi sampingku. Tak lama, aku terpikir sebuah ide.
"Riana!" Aku menempuk pundaknya.
Riana menoleh sebentar, kemudian melihat depan lagi.
"Kita mampir ke toko makanan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Подростковая литератураWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...