"Aku benci ketika orang lain menatapku, seolah sampah. Padahal aku tidak melakukan apa-apa." ~Ratih Maheswari
***
Satu bulan, melompat tinggi.
Ratih sedang menyiapkan seluruh perbekalan, sebelum dirinya harus meninggalkan rumah.
Ayah sudah lama pergi ke kantornya. Meninggalkan diriku sendiri, mengurus segalanya. Kebutuhan untuk lima hari ke depan, beraktivitas secara mandiri.
Suasana itu, sama halnya dengan dirinya pernah meninggalkan rumah lamanya, pasca ayah mendapat rumah baru. Haru, yang tidak berani untuk diucapkan.
Taksi online, telah memarkirkan dirinya didepan rumah nomor 9. Suara klakson, membangkitkan untukku agar segera mengeluarkan diri dari dalam.
Satu koper dan satu ransel, telah berada pada teras kecil itu.
Awan putih, sepertinya menemani sebelum keberangkatan Ratih Maheswari menuju sekolahnya.
"Pagi mbak," supir taksi menyapa.
Aku mengangguk kikuk, "selamat pagi, pak." Tangannya mencengkeram kecil pada pegangan koper.
Pak supir menengok bawah, "ini saja, mbak?"
"Betul pak. Ini saja, yang saya bawa."
Pak supir mengangkut satu koper ukuran sedang. Satu ransel tadi, dipakai pada punggungnya.
Sementara itu, mas Angga memperhatikan kegiatan kecil ini. Sembari membantu mengkondisikan sekitar, dengan kendaraan yang melintas.
Aku berjalan kecil, menemui pintu taksi. Begitu juga, dengan mas Angga yang penasaran denganku.
"Berhati-hatilah di sana, Ratih."
Aku membuat senyum, "iya, terimakasih."
"Berapa hari study tournya?"
"Sekitar lima hari, di Bali."
"Wah, lama juga ya. Komplek ini bakal sepi, ke depan. Tidak ada yang bisa diajak ngobrol selain kamu, Ratih."
Aku bingung apa yang akan ku katakan setelahnya. "Eng... kan ada satpam lainnya."
"Sama saja, tetap sepi disini."
Aku menggaruk kecil.
Disela pembicaraan kami, pak supir memotong kalimat yang akan aku ucapkan. "Mbak, ayo berangkat." Pak supir lebih dahulu memasuki dirinya kedalam.
Aku menoleh kaget, "ba-baik pak."
"Yasudah, nikmati perjalananmu, Ratih. Kalau bisa..." mas Angga terbatuk-batuk sebelum menyelesaikan yang diucapkan.
"Ada apa?" tanyaku yang tidak mengerti.
"... Oleh-oleh," nada kecil berbisik-bisik sampai terdengar di kuping kananku.
Mataku kaku sedetik, mengulang hal yang sama dan mengedipkan lagi. Ia meminta sesuatu padaku, seperti anak kecil yang meminta hadiah dari orang tua.
Aku hendak tersenyum. Setelahnya, membuka pintu dan masuk sendiri. Jendela gelap, tidak bisa dibuka, selagi laki-laki itu masih tetap berdiri.
Untuk hari ini, dan pagi itu, mobil taksi biru akhirnya berjalan. Melintasi mas-mas satpam, sambil bergerak melambai tangan.
Aku membalik sedikit badanku, seperti baju yang diperas, dan bergerak depan.
Laki-laki sang menyapa, selintas mirip ketua kelas, atau Fatma. Tapi, untuk sekarang, kondisi sekolah, sedang tidak stabil.
Gerbang depan komplek, telah pergi mobil taxi. Jarak tempuh rumah menuju sekolah, seharusnya dekat. Untuk sekarang, menjadi sangat jauh, karena deretan bis yang akan membawa kami, mengalami kemacetan.
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Teen FictionWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...