Ratih membuka matanya. Dia telah bangun dari tidurnya lagi. Sejak liburan minggu kemarin, rasanya begitu cepat berganti menjadi senin lagi.
Sekolah lagi, bertemu mereka lagi, praktek, dan juga aku tidak suka orang-orang di kelas menatapku benci. Selain geng PEYOTT itu.
Gadis sembilan belas tahun telah berangkat sendiri seperti biasanya. Berpamitan, menuju gerbang sekolah, memasuki area lapangan.
Gerbang sekolah berdiri tegak, dengan nama sekolahnya, "SMKN 1 UNGGUL. JADILAH MURID TELADAN!" tulisan bergerak cepat dalam sebuah alat hologram panjang.
"Pagi, Ratih," Bagas muncul di sampingnya. Berjalan kaki sendirian.
"Eh, halo juga."
"Kamu tidak menyebut namaku? selalu tanpa nama." Bagas mengerut wajahnya.
"Maksudku, Bagas. Iya, Bagas.".
"Bolehlah." Bagas membuat garis lengkung pada bibirnya. "Ayahmu, tidak tanya soal liburan kemarin?"
"Soal itu, sejak kemarin memang tidak bertanya-tanya."
Benar soal ayahku. Kemarin setelah aku kembali ke rumah, dia masih banyak mengerjakan pekerjaan rumah. Kulihat lucu, saat memakai celemek bekas ibuku. Terlihat kebingungan melihat anak gadisnya sendiri, berdiri di depan pintu.
"Ayahmu terlihat agak menyeramkan kalau dari dekat. Jauh pun, masih terasa aura seram." Bagas membuat tawa kecil.
Aku mengangguk. Mengikuti tertawa kecil bersamanya.
Gerakan kaki kami berhenti sementara. Melihat pemandangan sekolah yang ramai. Murid sekolah berdatangan berdiri. Menunggu acara upacara yang akan segera dimulai. Telah menggunakan topi abu.
"Kita harus cepat." Bagas mengajakku naik pada tangga keramik. Dia berjalan di depan.
"Oke, Bagas." Ratih mengucap pelan. Menyusuri murid laki-laki keren di depan.
Satu langkah besar, dilanjut beberapa langkah seterusnya membuat Ratih mengambil napas banyak. Getaran tangan memberi arti, bahwa dia terlalu menekan pegangan tangga yang dipaksakan.
Dengan jalanku dan Bagas yang semakin maju, terlihat juga pemandangan lebih luas dari lantai dua. Seluruh bagian kecil-kecil di bawah maupun orang-orang telah berubah kecil. Bergerak seperti semut.
Lorong dua terlewati baik oleh kami. Belum ada tanda-tanda adanya fans fanatik dari Bagas Raditya. Itupun menjadi salah satu ketenangan yang cukup untuk Ratih Maheswari. Sepi, nyaman, dan tentram.
"Halo kamu berdua disana."
Anak lembut dengan suara nyaring, tidak lagi sulit dikenali. Sekar Wulandari, berbicara saat ia melihat kami yang berdiri.
Seolah tubuhku kaku dan tidak bisa bergerak, Bagas ikut merasakan hal yang sama. Tidak bisa pergi darinya.
"Berpura-pura saja, Ratih. Jangan berikan jawaban benar," Bagas berbisik kecil.
"Iya, Bagas. Aku mengerti."
Aku pun berbalik meligat wajah seram. Alis menukik tajam berwarna hitam gelap. Bibir merah. Sangat merah.
"Tumben sekali, kalian datang lebih awal." Sekar mengobrol kepada aku dan dia.
"Kami hanya tidak mau kemacetan di jalan. Yaa... Begitulah murid sekolah."
"Ya, kamu benar juga sih, Gas. Memang ya, anak sekolah susah dapat jalur yang bagus kalau mau berangkat." Sekar tertawa sendiri. "Kalau ada tempat, juga bakal disenggol sama pengguna motor lain. Apalagi emak-emak. Penguasa jalanan." Sekar menertawakan ceritanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Teen FictionWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...