Siang ini adalah dimana waktu tak menyenangkan bagi kami untuk menuntaskan hasil tugas mata pelajaran matematika.
Selama itu juga, kami membahas hasil PR matematika tadi.
"Hei, Ratih, aku lihat hasilmu lagi." Riana bertanya selagi guru matematika membahas materi-materi sebelumnya.
Aku menggesernya setelah ia bertanya. Dia daritadi belum selesai dan hari ini dilanjutkan lagi.
Dari dulu, saat gadis tembam pertama kali duduk dan mengerjakan tugas, dia selalu bertanya tentang soal-soal yang tidak ia pahami.
Selain hobby nya yang makan terus, dia selalu saja mencontek temannya.
"Hei, Ratih. Jangan terlalu lihat guru matematika." Riana sengaja menunduk kepala.
"Eh, kenapa Na?"
"Hei, seperti tidak tau saja. Hei, nanti guru akan menunjukmu untuk maju ke depan."
"Oh, begitu ya?" Ratih terkejut mengetahui. Melanjutkan ikut menunduk takut.
"Baik, semuanya. Ibu sudah menuliskan materi matematika tentang aritmatika. Harusnya kalian paham dong, materi ini."
Aku menatap ke papan tulis. "Gampang?"
"Silahkan ditulis, sebelum ibu menghapusnya."
Aku menulis ulang seluruh materi tadi. Kecepatan tangan sangat dipertaruhkan untuk mengisi satu halama penuh kertasku.
"Lima... Empat... Tiga... Dua... dan Satu! Habis! ibu hapus!
Perintah darinya sebagian dari beberapa murid, telah menyesal tidak mempercepat ritme menulisnya.
"Sakitnya." Ratih merasakan jari-jari tegang yang digerakkan perlahan. Warna merah seutuhnya.
"Oke, semuanya, minta tolong untuk satu laki-laki maju ke depan. Ibu minta yang tinggi, untuk menghapus papan tulis."
Satu anak menunjukkan diri. Berdiri serius. Mendorong kursi hingga menempel pada tembok.
Bagas Raditya. Murid laki-laki bertubuh tinggi dibandingkan Aldi Mahendra.
Jalan tegak lurus ke depan, sangat ingin diraih dengan mereka yang melihatnya.
Humoris, pandai memasak, suka bermain gitar, kadang membuat emosi untuk ketua kelas, menurutku pas dijadikan sebuah teman atau partner kerja praktek.
Aku menegakkan kepalaku lagi. Menyaksikan.
Duapuluh murid, tampak diam di bangku masing-masing. Semakin tegang dalam suasana kelas matematika.
"Ini, gunakan." Tegas, guru matematika memberikan satu penghapus.
Bagas menerima. Bergerak menaiki balik kayu, sebagai panggung kecil-kecilan.
Kuperhatikan, dia sengaja menghapus huruf per huruf. Sangat lamban.
"Apa yang dia lakukan?"
"Hei, menghapus lah. Membantu mengulur waktu agar segera habis pelajaran."
"Tapi kan tidak boleh begitu."
"Hei, baguslah dia melakukan seperti itu. Seharusnya kita berdoa agar cepat selesai. Kepalaku hampir melepuh memahami matematika."
Aku hanya bisa menatap gerakan dia. Sengaja membuat habis waktu matematika.
Benar saja, bunyi bel berdering rusuh. Tentu dengan laki-laki gadi yang sudah menyerahkan penghapus ke tangan guru matematika.
"Semuanya, silahkan dipelajari matematika lagi. Minggu depan, akan lebih banyak soal lainnya. Terimakasih waktunya." Guru matematika berkhidmat di depan semuanya. "Silahkan pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
4,5,&6 (SERIES KEDUA) BERSAMBUNG
Teen FictionWATTPAD KEDUA "4,5,&6" *** Setelah libur sekolah berakhir, Ratih Maheswari, berusia sembilan belas tahun, akhirnya menaiki kelas menjadi kelas sebelas. Tahun kedua, ia masih gunakan untuk belajar, dan melanjutkan kehidupan di sekolahnya. Kehidupan...