35. RAGU

121 7 0
                                    

Tak pernah terbayangkan bagi Grace bahwa Ezra akan menghampirinya di sini, di rumah ini - bersama Nick. Bagaimana Grace menjelaskan semua ini? Ezra pasti akan berpikiran kalau dia sudah berubah menjadi wanita gampangan karena tinggal satu atap dengan seorang laki-laki.

Dengan sedikit tertatih, Grace menaruh dua cangkir teh di atas meja untuk Nick dan Ezra yang kini tengah bersitegang.

“Gimana keadaan kamu, Grace?” tanya Ezra begitu Grace duduk kembali di salah satu bagian sofa.

“Aku udah baik-baik aja kok,” jawab Grace tersenyum simpul.

Ezra menganggukkan kepalanya, lalu dia meraih cangkir tersebut untuk sedikit mencairkan suasana sekaligus menenangkan hatinya yang masih gelisah sejak melihat laki-laki bernama Nick ini berada di sini.

“Kamu tahu dari mana rumah ini?” tanya Grace.

“Aku bener-bener khawatir sama kamu, Grace. Aku minta alamat rumah kamu di sini dari orang tua kamu seminggu yang lalu, tapi karena aku baru punya jadwal kosong hari ini, jadi …”

“Kalau Grace sekarat juga lo nunggu jadwal kosong dulu buat nolongin dia,” sindir Nick memotong kalimat Ezra yang menurutnya terlalu basa-basi.

“Seenggaknya gue bukan orang yang bikin Grace celaka,” jawab Ezra membalas sindirian Nick yang sinis.

Nick menahan napasnya, sementara Grace diam membeku khawatir kedua orang ini akan baku hantam ketika kondisi tubuhnya sedang tidak stabil begini.

“Grace harus banyak-banyak istirahat sekarang, lo mau apa sebenernya ke sini?” tanya Nick langsung pada intinya.

“Lo siapa sih? Ngapain ada di sini sampe larut malam begini?”

“Gue …” Nick terdiam sejenak sambil menahan napasnya. Dia hampir saja keceplosan mengatakan bahwa dia juga tinggal di rumah ini. Dan Nick yakin, Grace tak akan suka jika Nick mengatakan fakta itu.

“Gue tetangganya, Grace. Kebetulan tadi dia minta tolong benerin … wastafelnya yang rusak,” jawab Nick seketika membuat Grace menoleh ke arahnya dengan kedua mata terbelalak. Dia sama sekali tak berekspektasi kalau Nick mau berbohong perihal ini.

“Ya udah, kalau gitu bisa tinggalin gue sama Grace sekarang? Gue mau ngobrol sama dia empat mata,” jawab Ezra mengusir Nick secara terang-terangan.

Awalnya, Nick mengabaikan usiran dari Ezra barusan. Namun begitu kedua matanya bertatapan dengan Grace, Nick langsung mengerti isyarat Grace yang memintanya untuk keluar dulu. Lantas, mau tak mau Nick beranjak dari sofa, dan berjalan keluar rumah.

“Sebenernya apa yang terjadi sama kamu kemarin, Grace?” tanya Ezra langsung membuka pembicaraan.

“Aku gak apa-apa, kemarin cuma ada sedikit masalah aja,” jawab Grace pelan.

Ezra tahu, dari gelagat Grace yang selalu berusaha menghindari kontak mata dengannya, perempuan ini sedang menyembunyikan sesuatu. Ia juga tahu, mungkin Grace merasa kalau dia tak perlu mengatakan apa saja kepada Ezra karena saat ini mereka bukan lagi sepasang kekasih.

Ezra menghela napas pelan, kemudian dia beranjak dari duduknya. Pandangan Grace reflek mengikuti pergerakan Ezra yang ternyata berpindah duduk menjadi lebih dekat dengannya.

“Grace, aku gak tahu apa hubungan kamu dan cowok itu. Tapi Grace, kalau dia macem-macem sama kamu ...”

“Zra, aku rasa kamu gak perlu khawatir. Aku gak tahu kenapa kamu kaya begini tapi jujur aja saat ini aku risih setiap kali kamu bersikap sinis sama Nick,” sergah Grace memotong kalimat Ezra barusan.

“Karena memang dia satu-satunya yang aku curigain melakukan ini, Grace. Aku tahu dia cowok gak bener yang suka berantem sama semua orang. Kamu tiba-tiba menghilang dan sekarang banyak bekas luka begini. Kamu kabur dari dia, kan kemarin?” bisik Ezra menatap Grace lekat-lekat. Sementara Grace malah membuang wajahnya ke arah lain, tak percaya Ezra bisa mengatakan ini.

“Grace, ini udah gak bener. Kamu gak bisa biarin diri kamu dalam kondisi begini, Grace. I’ll take care of you.”

“Kamu peduli sama aku sekarang? Kenapa, Zra? Kamu kasian?” tanya Grace.

“Kalau aku bilang aku masih sayang sama kamu, apa kamu percaya?”

Grace terdiam, akhirnya dia menoleh ke arah Ezra. Ia menatap laki-laki itu dengan pandangan kecewa.

“Grace?”

“Enggak, kamu gak pernah sayang sama aku, Zra. Aku memang pernah berpikir begitu, tapi udah hampir setahun perpisahan kita, aku mulai berpikir kalau itu semua hanya fatamorgana. Kamu gak pernah peduli sama aku, Zra. Kamu gak pernah menghargai aku dalam segala hal. Keinginan kamu dan ego kamu diatas segalanya,” jawab Grace, lalu dia menggigit bibirnya sambil menghembuskan napas dalam-dalam. Baginya sudah terlanjur mengatakan semuanya pada Ezra sekarang.

“Aku gak akan pernah bisa jadi perempuan yang kamu mau, Zra. Jadi stop buat aku bingung lagi. Tolong ...”

“Apa kita gak bisa ulang semuanya dari awal?”

“Sama aja kita mengulang kisah yang sama, Zra. Aku gak mau mikirin tentang cinta, aku mau hati aku bebas,” jawab Grace pelan.

“Terus cowok itu?”

“Nick itu sahabat aku. Dan kalau pun nanti aku jatuh cinta sama dia, itu hak aku, Zra.”

Ezra terdiam sejenak, dia mengepalkan kedua tangannya sambil menghembuskan napasnya dalam-dalam.

“Aku lega, lihat kamu udah baik-baik aja sekarang.” Setelah mengatakan itu, Ezra beranjak dari sofa, lalu melangkahkan kakinya keluar dari rumah tersebut.

Grace menggigit bibirnya sambil menyenderkan punggungnya di senderan sofa. Memang sempat terbersit dalam pikiran Grace keinginan untuk kembali pada Ezra. Namun, dia sadar betul kalau dia tak ingin mengulang kembali masa-masa itu. Masa-masa disaat dirinya selalu merasa rendah diri.

Is everything okay?”

Pandangan Grace menoleh pada Nick yang berdiri di hadapan Grace dengan sebuah plastik di tangannya.

Not okay, soalnya saya laper banget,” jawab Grace terkekeh.

“Ya udah, makan di dapur aja.” Nick membawa pelastik itu ke arah dapur.

Sebenarnya Grace agak bingung kenapa sikap Nick jadi lebih dingin begini. Namun, Grace mencoba mengabaikan dan berjalan mengikuti Nick ke dapur.

“Gak nyangka ternyata kamu suka makanan Jepang juga,” ujar Grace dengan nada meledek ketika Nick sedang membuka bungkusan sushi tersebut.

“Enggak juga. Karena gak ada lagi yang bisa dipesan malam-malam begini,” jawab Nick.

“Nick, maaf ya. Mungkin kelakuan Ezra tadi nyinggung kamu. Dan maaf juga, gara-gara saya kamu jadi harus bohong tadi,” ucap Grace akhirnya menyinggung masalah itu lagi karena ia merasakan betul perubahan sikap Nick saat ini.

“Gue gak mempermasalahin sikap si Ezra, udah biasa. Gue juga gak masalah sama sekali harus bohong di depan dia ...” Nick menggantung kalimatnya, lalu menyodorkan sushi tadi ke hadapan Grace.

“... Gue cuma penasaran kenapa lo masih mau ngobrol sama dia. Lo mau balikan sama dia, gue gak peduli. Tapi gue harap dia gak macem-macem sama lo,” imbuh Nick.

“Nick, saya berani ngobrol lagi sama dia, karena udah yakin kalau saya udah gak ada perasaan apapun sama dia. Makanya, saya juga udah memperjelas semuanya ke Ezra, kalau kita gak mungkin balikan lagi,” jawab Grace, lalu menyuap satu potong sushi ke dalam mulutnya.

You sure? Why?” tanya Nick duduk di sebelah Grace, menatap wanita ini penasaran.

Alih-alih menjawab, Grace hanya mengedikkan bahu sambil terus mengunyah. Sementara Nick hanya diam sambil memerhatikan Grace yang mulai lahap memakan sushi nya. Ia memang tak perlu tahu apa alasannya Grace menolak untuk kembali pada Ezra, dia sudah cukup lega akan keputusan itu.

“Enak banget? Atau laper?” sindir Nick.

“Laper, tapi ini juga enak. Cobain nih,” jawab Grace sambil menyodorkan satu potong sushi ke hadapan Nick. Hal itu, tentu saja Nick dibuat kaget hingga dirinya hanya bisa terdiam beberapa saat sambil menatap sushi yang disodorkan oleh Grace.

“Oh, ya. Kamu ambil sendiri aja, ini –”

Nick menahan tangan Grace yang hendak mengurungkan niatnya. Lalu, dia memakan potongan sushi tersebut sambil tersenyum.

“Enak kan? Gak bikin eneg,” ujar Grace mengalihkan pandangannya lagi ke arah sushi miliknya.

“Grace ...”

“Hmm?”

“Gue akan ke London, bareng sama Chris dan Bianca nanti.”

Seketika Grace menghentikan kunyahan di mulutnya seketika. Tentu dia tersentak kaget dengan perkataan Nick barusan.

“Oh, ya? Kapan?” tanya Grace.

“Mungkin lusa.”

“Oh. Seinget saya, kamu baru akan pulang bulan depan,” ucap Grace kikuk. Dia gelagapan, sampai buru-buru mengalihkan perhatiannya mencari minum.

“Kondisi lo udah semakin membaik, Grace. Lagian, gak ada tujuan lagi gue di sini. Gue udah menemukan di mana Marisa. Walaupun gue gak mau nemuin dia,” jawab Nick pelan.

Grace menaruh gelasnya di atas meja, kemudian memutar posisi duduknya menghadap Nick.

“Nick, saya udah bilang kan sama kamu kalau sebelum kejadian itu, Marisa dateng ke sini. Dia memperingati saya dan kamu untuk berhenti mencari Marisa. Mungkin, dia udah tahu kalau Juno hanya ingin memanfaatkan kamu karena ini ...”

“Grace ...”

“Dan satu lagi, Nick. Dia yang bantuin saya untuk kabur saat itu,” sergah Grace sebelum Nick menanggapi kalimatnya.

“Itu gak mengubah apapun, Grace. Bagi gue, dia udah ikut andil bikin lo kaya begini dan gue gak bisa maafin hal itu,” jawab Nick bersikeras. Dia tak mau dilanda dilemma lagi. Toh, Marisa tetap lebih memilih berada di pihak orang itu daripada dirinya.

Grace tak bisa berkata apa-apa jika itu sudah keputusan Nick. Menurut Grace, dia tak berhak sama sekali untuk memaksakan pandangan Nick terhadap ibu kandungnya itu.

“Besok, gue mau ketemuan sama temen-temen gue di sini. Setelah itu, gue akan packing semua barang gue. Soalnya lusa nanti, Chris nyari penerbangan pagi,” celoteh Nick memberitahu Grace.

“Kenapa kamu baru kasih tahu saya sekarang, kalau kamu akan pulang ke London lusa ini?”

“Gak usah pura-pura sedih deh. Lo seneng kan, akhirnya gue pergi dari sini dan gak gangguin lo lagi?” ledek Nick ketika menyadari perubahan raut wajah dan nada suara Grace barusan. Namun, kali ini Grace sama sekali tak tertawa. Dia beranjak dari duduknya sambil menutup wadah sushi yang masih sisa setengah itu.

“Saya ngantuk, Nick. Makasih sushi nya,” ujar Grace sambil melangkahkan kakinya ke kamar, meninggalkan Nick yang tercengang bingung.

Grace menahan napasnya ketika sampai di dalam kamar. Mengapa perasaannya tiba-tiba gelisah setelah mengetahui Nick akan pergi? Apa yang sebenarnya Grace takutkan? Bukankah ini yang dia inginkan dulu?

Grace menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. Kemudian, dia duduk di kursi. Pandangan Grace beralih pada laptop miliknya. Terdapat sebuah kertas catatan yang tertempel di sana.

Good luck, Grace. Cepet sembuh ya ... Biar bisa lanjutin tulisan lo. I’m with you.’

Grace menggigit bibirnya. Dia benci harus mengakui kalau dirinya tak membenci Nick. Dia tak bisa membenci laki-laki itu.

Nick itu sahabat aku. Dan kalau pun nanti aku jatuh cinta sama dia, itu hak aku.

Grace mulai ragu dengan dirinya sendiri. Tak mungkin dia memiliki perasaan pada Nick. Itu tak boleh terjadi.


MY BAD HOUSEMATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang