Dua puluh dua: Space

698 86 20
                                        


Tiga hari setelah percakapannya dengan Haruto, Junghwan masih mencoba memproses apa yang terjadi dan lagi-lagi menemukan dirinya kesulitan fokus pada pekerjaanya. Beberapa kali dia kena tegur Papa karena terlalu sering melamun saat rapat untuk anniversary perusahaan yang memang akan diadakan akhir minggu ini.

Haruto bilang waktu perpanjangan cutinya hanya sisa dua minggu. Tapi terhitung dari terakhir pertemuan mereka, Haruto sama sekali belum menghubunginya, tidak ada telepon, tidak ada pesan. Berkali-kali Junghwan sudah menekan egonya, siap untuk menelepon Haruto duluan, tapi segera dia urungkan. Mukanya tidak setebal itu untuk menelan kata-katanya sendiri yang meminta waktu. Tapi yang ia maksud dengan 'minta waktu' bukan seperti ini. 

Dengan Haruto tidak menghubunginya sama sekali setelah mengajak menikah, bagi Junghwan terkesan seperti main-main. Dan Haruto jelas-jelas ingin main-main dengannya lagi, jadi untuk apa Junghwan mengalah dan menghubunginya terlebih dulu? Hanya orang super bodoh yang akan melakukan hal seperti itu. Dan ternyata... Junghwan lebih bodoh dari orang super bodoh karena saat ini dia sedang menekan nomor Haruto di ponselnya.

Junghwan harus meletakan tangan kirinya di atas dada untuk menenangkan detak jantungnya saat menunggu dering demi dering dari sambungan teleponnya. Setelah beberapa detik sambungan terputus dengan sendirinya dan Junghwan menghembuskan napas dalam-dalam. 

Haruto tidak mengangkat teleponnya. Junghwan tidak bisa memutuskan apakah harus merasa lega atau kesal karena Haruto tidak mengangkat teleponnya.

Ketika sampai keesokan harinya, Haruto belum juga menghubungi. Junghwan mulai khawatir kalau saja mungkin terjadi sesuatu pada Haruto. Bisa saja Haruto mengalami kecelakaan yang sangat parah dan kini tergeletak di rumah sakit tidak sadarkan diri sehingga tidak bisa menelpon atau mengirim pesan. Tapi kalau musibah seperti itu menimpa Haruto, Junghwan yakin Hinata akan berusaha memberinya kabar. Tapi sampai sekarang tidak ada satupun kabar Haruto yang sampai ke dirinya.

Tepat pukul 5 sore saat Junghwan pulang dari kantor, dia menemukan abangnya sedang duduk santai di depan televisi sambil minum entah apa isi di dalam mugnya.

"Sini dong... abang pengen ngobrol." ucap Jihoon saat Junghwan hendak melewatinya untuk menuju kamar.

"Ngobrol apa?"

"Ngobrol tentang kamu kepergok berduaan di kamar sama mama papa." jawab Jihoon to the point.

"Hah?"

"Ngobrol tentang kamu kepergok berduaan di kamar sama mama papa," ulang Jihoon kali ini dengan nada yang lebih keras, "Papa tadi pagi cerita." tambahnya.

"Papa cerita?" tanya Junghwan tiba-tiba kelihatan stress. Papa bukan tipe orang yang sering membicarakan kegelisahannya. Itu adalah tugas mama. Jadi kalau papa sampai cerita itu berarti hal yang beliau ceritakan betul-betul menggangunya.

"Ya, iyalah?"

"Oh God, I need to drink something!" tanpa minta izin terlebih dahulu, Junghwan merebut mug dari tangan si abang. Dan sepertinya Tuhan memang sedang ingin menyiksanya Junghwan hari ini, karena baru saja minum satu teguk, dia langsung batuk-batuk.

"YUCK!! Apaan nih?" tanya Junghwan langsung mengembalikan mug tersebut pada pemiliknya.

"Kopi item kentel." jawab Jihoon sambil tertawa dan sekarang berusaha mendorong mug kopinya kembali ke arah sang adik, "nih minum lagi nih."

"Nggak mau! Jauhin nggak?!" protes Junghwan sambil menjauhkan kopi Jihoon dengan ujung jari telunjuknya seakan-akan kopi abangnya adalah racun tikus.

"Cranky banget moodnya kayak remaja lagi jatuh cinta aja."

Un-StuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang