Dua puluh enam: Still in love

468 56 9
                                    


Junghwan menemukan Haruto sudah menunggunya ketika dia sampai di restoran tempat mereka janjian bertemu. Haruto tidak mengatakan apa-apa, hanya mencium pipinya sebelum kembali duduk. Wajahnya kelihatan redup, membuat Junghwan sedikit was-was. Hanya ada satu alasan kenapa Haruto ingin berbicara dengannya secara langsung, Junghwan hanya berharap Haruto tidak mengambil keputusan secara implusif.

Junghwan mengambil tempat duduk di hadapan Haruto sebelum memulai pembicaraan, "kamu mau membicarakan apa?"

"Sebelum kita ngomongin hal itu, aku mau tanya keadaan kamu sama Elan. Apa kalian berdua betul-betul baik-baik saja?"

Junghwan menjalin jari-jarinya diatas meja sebelum menjawab, "aku baik-baik aja, tapi Elan masih agak diam. Kasih dia waktu sedikit lagi, oke?"

Haruto mengangguk, "kamu bilang apa ke dia?"

"Aku ceritain semuanya, Gimana kita bertengkar dan aku marah sekali sama kamu tujuh tahun lalu, yang mengakibatkan kita nggak bisa baikan, dan akhirnya aku harus bohong tentang kehamilan aku sama kamu. Aku jelasin bahwa kamu nggak pernah tahu dia lahir, makanya kamu nggak pernah datang mencari dia."

"Apa kamu cerita kenapa kamu marah sama aku? Gimana aku ninggalin kamu?"

"No, aku cuma bilang kita nggak setuju tentang sesuatu, dan bahwa suatu hari waktu dia sudah cukup dewasa, kamu akan menjelaskan secara pribadi ke dia."

Mendengar ini, Haruto menghembuskan napasnya, Otot-otot tubuhnya yang dari kemarin kaku tiba-tiba melemas. Dan untuk pertama kalinya dia menyadari betapa takut dirinya dengan kemungkinan anaknya akan tahu bajingan seperti apa ayahnya ini.

"Thank you for doing that."

"It's the least i could do."

Haruto terdiam, Junghwan sudah menyelamatkannya dari dibenci selama-lamanya oleh anaknya, tapi merasa bahwa perbuatannya adalah least he could do, bahkan setelah dia menyakiti Junghwan sebegitu parahnya. 

"Sekarang, apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Junghwan.

Haruto menarik napas, lalu memperbaiki duduknya agar lebih tegap untuk menatap lurus mata Junghwan, "Aku sudah siap."

"Siap untuk?"

"Untuk sepenuhnya jadi ayah Elan. Aku sudah mempertimbangkan ini dengan matang. Dan aku mau jadi bagian permanen dalam kehidupan Elan. Aku mau dia manggil aku ayah."

"Wow, slow down..."

Seakan-akan tidak mendengar, Haruto melanjutkan, "aku tahu kemarin aku ngasih tau Elan karena keceplosan, walaupun aku sebetulnya berharap bisa ngasih tau dia dalam situasi lain, tapi aku jujur lega dia akhirnya tahu. Mulai detik ini aku akan pastiin dia menerima semua tunjangan dan support  dari aku sampai dia bisa berdiri sendiri."

"Tunggu dulu, aku pikir..."

"Tolong, Junghwan. Elan anakku, aku juga wajib membiayai dan menjaga dia. Kamu udah jagain dia selama tujuh tahun, sekarang ijinin aku ikut ambil bagian juga."

Junghwan hanya bisa menganga, terlalu banyak hal yang berseliweran di dalam kepalanya. Otaknya tidak tahu mana dulu yang harus ia respon, Junghwan bahkan belum membicarakan masalah ini dengan Elan.

"Kalo bisa aku mau menyelesaikan semua ini dalam seminggu, karena aku harus segera balik ke Chicago." lanjut Haruto.

The hell! Dan Junghwan rasanya ingin menampar Haruto sekarang. Bagaimana mungkin satu detik sebelumnya dia bilang mau Elan memanggilnya 'ayah' dan detik selanjutnya dia berancana meninggalkan Elan?

Un-StuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang