Lima belas : boleh

816 95 10
                                    



Setiap pagi Junghwan punya kebiasaan  yang harus dia lakukan yaitu, menyiapkan sarapan untuk Elan. Tidak peduli apa yang sedang bergejolak di hati dan kepalanya, dia harus menjadi orang yang menyiapkan sarapan untuk anaknya. Maka dari itu, hari ini dengan susah payah, Junghwan memaksa dirinya bangun dari tempat tidur.

Dia hanya bisa mendesah pasrah saat melihat pantulan wajahnya di cermin. Kulitnya pucat, hidungnya merah, dan lingkaran hitam di bawah matanya menyaingi panda. Semua itu adalah hasil dari menangis semalaman.

Tadi malam, setelah mengantar Elan tidur, Junghwan kembali ke kamarnya sendiri dan menangis tersedu-sedu. Dia berhasil menahan tangis itu selama sisa interaksi Haruto dan Elan di sekolah. Elan yang melihatnya diam saja sepanjang perjalanan pulang memberikan tatapan bingung tapi tidak berani bertanya. Dia juga berhasil menahan tangis saat bertemu Jihoon di ruang keluarga. Sang abang sempat memberikan tatapan curiga, menduga sesuatu terjadi dengannya hari ini ketika melihatnya agak linglung, tapi juga tidak mengatakan apa-apa.  Dan ketika sudah sendirian di dalam kamarnya, dia akhirnya menangis tersedu-sedu.

Membutuhkan waktu beberapa saat baginya untuk menenangkan diri. Dan saat itulah dia sadar bahwa dia menangis karena marah, kecewa, dan takut.

Dia marah pada Haruto yang tiba-tiba datang disaat hidupnya sudah baik-baik saja, seakan tidak rela dan ingin mengacak-acaknya lagi. Kecewa atas tingkah laku Haruto yang seperti sudah melupakan kesalahan yang dia lakukan terhadapnya dan meminta maaf dengan begitu enteng. Lalu, takut jika Haruto menuntut haknya sebagai orang tua dan merebut hak asuh Elan.

Dia tahu di mata hukum, Haruto tidak punya hak atas Elan. Tapi bagaimana kalau Haruto nekat? Oh tuhan... Junghwan tidak akan bjsa hidup tanpa Elan.
















"Pagi, sayang...," sapa Junghwan saat melihat Elan muncul di dapur masih mengenakan piama Iron Mannya. Junghwan menunduk untuk mencium kepala Elan sebelum melanjutkan, "tidur nyenyak tadi malam?"

"Pagi juga, pa." balas Elan sebelum berjalan menuju meja tempat Junghwan meletakkan susu putih dan pancake dengan buah-buahan untuk sarapan Elan.

"Papa, kok pancake aku nggak ada tanduknya?" protes Elan saat tidak melihat tanduk dari buah apel pada piringnya, Junghwan melirik sekilas. Dan benar saja hanya ada pisang sebagai mata dan mulut, stroberi sebagai hidung dan berry hitam sebagai rambut.

"Sori, papa lupa, bentar papa bikinin dulu..."

Mata Elan mengikuti gerakan Junghwan membuka kulkas untuk mengambil apel lalu memotongnya sebelum meletakkan buah itu di atas piring pancakenya. Bahkan setelah tanduknya tersusun rapi, mata Elan masih terus terarah dalam pada sang papa.

"Papa?" panggil Elan tiba-tiba.

"Iya?"

"Papa lagi sedih ya?"

Gerakan Junghwan terhenti, tertegun mendengar pertanyaan tiba-tiba anaknya. Apa wajahnya masih terlihat sembab?

"Kok kamu tanyanya begitu, sayang?" tanya Junghwan mencoba mengontrol kepanikannya dengan tersenyum.

Un-StuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang