Lembar Baru

118 11 2
                                    

rasanya baru aja tahun baru, udah mau februari aja.

*

"Heidi, kapan kau akan berhenti menuduh? Kita tak menemukan jalan keluar sama sekali kalau begini," keluh Engfa mendesah pelan seraya mengempaskan tubuh ke sisi Meena. Sorot mata sayu terhenti di Aoom sesaat lalu beralih ke Meena, ada rasa curiga dari kebungkaman sepasang kekasih ini sejak kembali. "Harus berhati-hati atau justru mempercayai?" batinnya memikirkan Aoom dan Meena tapi pandangan tertuju pada Heidi dan Tina.

"Siapapun bebas berasumsi, 'kan? Agak aneh ketika dia tiba-tiba bisa berpikir ke sebuah taman hiburan sementara tidak satupun dari kita memikirkan hal tersebut? Dan sejak awal dia paling menolak masuk lebih dalam, mungkin hanya alibi untuk menghindar dari perbuatannya."

"Justru kau yang membuatku terheran mengapa bisa berpikir selicik ini? Sedari awal kau langsung menaruh curiga, sudah bebas juga masih menuduh sana-sini. Apa jangan-jangan semua tak lebih dari alibimu supaya tidak dicurigai?" lontar Charlotte memantulkan balik pemikiran Heidi.

Meena dan Aoom hanya duduk mematung mencermati sikap masing-masing dari mereka, semua bisa jadi benar ataupun salah. Walau begitu sosok berambut gelombang masih menjadi poin utama di benak mereka. Sehingga semenjengkelkan apapun Heidi, tak masuk dalam kategori tersangka. Justru sikap Pailiu paling menonjol, tapi sebagai teman sejurusan Meena berharap bukan. Akan sulit sekali menerima bahwa orang yang selama ini berjuang bersama tak lain adalah orang yang merencanakan pelajaran karma.

"Kau dan kau, kalian berdua sama-sama licik yang terus mengkambingkan orang lain," tunjuk Charlotte pada Heidi dan Tina. "Aku juga angkat kaki dan selesai dengan semua omong kosong yang membuatku berhenti dari audisi. Aoom, Meena, sebaiknya kalian juga, aku tak mau kalian berkutat pada semua ini dan terluka lebih jauh!"

Puas menumpahkan kegeraman pada diskusi yang selalu berakhir pertengkaran dan tudingan Heidi, Charlotte mengaitkan tas selempang dan angkat kaki. Engfa sekali lagi menatap Aoom dan Meena sekilas sambil terus menerka apa yang ada dalam pikiran mereka berdua? Mungkinkah pasangan ini tahu atau sedang menelaah sesuatu dari musyawarah panas?

"Nong," lirih Meena tiba-tiba meraih jemari Aoom. "Ayo pergi!"

"Oh? Baiklah."

Mereka beranjak pamit memberi ruang untuk Tina menasihati Heidi sementara Engfa masih duduk sedikit-banyak mencoba jadi penengah. Tanpa sadar Engfa sesekali memerhatikan punggung dan gerak-gerik mereka walau bibir bertutur pada Heidi.

"Nong, sepertinya kita juga harus akhiri ini karena selalu menemukan jalan buntu."

"Kau yakin?"

Meena memanggut kecil memerhatikan langkah Aoom yang masih tertatih-tatih butuh perawatan. "Aku lebih suka melihatmu berjalan di atas panggung daripada mengejar pelaku. Kakimu indah, otakmu cerdas, mentalmu kuat, jadi daripada berakhir mencari pelaku yang entah siapa, lebih baik semua kelebihanmu dituang pada passion."

"Kalau keputusan barusan membuatmu lebih tenang, aku pasti setuju. Lagi pula, melihat dan mendukungmu menari jauh lebih membahagiakan."

"Hm. Soal siapa yang merasa tak terima atau sakit akan hubungan kita, itu urusan dia dalam mengatur perasaan. Bukan salah kita memutuskan bersama dan tidak menjawab perasaan seseorang yang bahkan entah siapa. Hati telah saling memilih. Mengapa harus ada hukuman atas cinta yang murni ini?"

Melihat wajah memerah dan mata yang berkaca-kaca, Aoom tak kuasa menahan diri untuk tidak memeluk Meena. Tak jauh berbeda dengan Charlotte dan Pailiu, Meena bahkan dia sendiri rasanya tak cukup kuat ketika harus tahu pelaku yang sangat mungkin adalah salah satu dari mereka. Lagi pun, mengapa harus merepotkan hati, pikiran, dan mental atas permainan yang telah memberi pelajaran berujung kembali hidup-hidup?

GRAND CUBETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang