Peneror dan Penolong

111 8 2
                                    


"Aoom, kalau kau tidak lolos aku tak mau bicara denganmu!" ancam Charlotte meninju lengan Aoom di ruang peserta audisi kelas teater.

Wanita berpakaian blouse putih dan celana hitam polos mengerjap seraya meremas jemari sahabatnya sesaat. "Diamlah! Tidak tahukah aku sedang berusaha menetralkan kegugupan? Ahhh, mengapa Meena belum kemari?"

"Mungkin dia ada kelas tambahan karena tak lama lagi adalah jadwal audisi untuk seni tari. Dia pasti datang sebentar lagi," tutur Charlotte menyebarkan pandangan ke sekeliling ruangan, para peserta pun tak kalah tampak gugup dan berusaha mengobrol untuk meredamkan kegelisahan. "Heidi.

Sepasang mata berhenti pada salah satu pesaing Aoom, sosok yang pernah menjadi sahabatnya dulu. Charlotte dan Engfa sempat berencana kumpul untuk memperbaiki hubungan, tapi belum sempat. Masing-masing disibukkan jadwal audisi dan latihan di jam berbeda-beda. 

"Pergilah!" paham Aoom melihat wajah sendu berisi rindu di balik tatapan Charlotte. "Mumpung di depan mata, jangan dilewatkan lagi! Paling tidak sekadar memberi semangat."

Charlotte tertunduk menggantungkan wajah kala Heidi dan Tina bak merasa sedang diperhatikan. Namun, Aoom justru menepuk bahunya setengah mendorong dan memberi isyarat dagu agar lekas beranjak.

"Keraguanmu di sini hanya membuatku makin gugup. Cepat pergi!"

"Haahhh, bilang saja kau merasa Meena akan segera datang dan tidak ingin diganggu!" ceracau Charlotte mengalah dan meninggalkan Aoom yang tak henti menatap skrip dan pintu masuk bergantian.

*

"Vanessa," panggil seseorang bernada serak menyambut kedatangan mahasiswi seni tari di luar lobi.

"Hm?" gumam Vanessa memicing ke wanita paruh baya bermata empat dan rambut coklat memutih disanggul. "Dosen Teresa?"

Dosen Teresa, sosok yang secara tak langsung menjebloskan Vanessa ke dalam permainan mirip neraka. Wajah wanita tersebut kini malah tampak sayu, lemah, dan tidak punya semangat hidup. Bola mata terlihat cekung, kedua lengan begitu kering, serta bibir cukup pucat. Namun, ada hal lebih parah, dia menggunakan kruk untuk membantunya berjalan.

"P'Pai, kau boleh pergi dulu," tutur Vanessa pada Pailiu yang bersamanya meninggalkan gedung fakultas.

"Kau yakin?" bisik Pailiu. Vanessa memanggut datar. Melihat raut dan raga dosen arogan yang layu bak hidup segan mati enggan, dia yakin wanita bermata empat tidak akan mencari gara-gara. "Cha. La gon ka. La gon ka, Khun Teresa."

"La gon ka," sahut sang dosen ramah. Beberapa langkah setelah punggung Pailiu menjauh, "Vanessa, bisakah kau membantuku?"

"Hah?" sahut Vanessa bernada sinis dan menyindir. Status dosen dan mahasiswi atau orang lebih tua dan anak muda tidak serta-merta mengembalikan rasa hormat setelah kejadian berbulan lalu. 

"Maaf, sungguh maaf, benar-benar minta untuk semua sikapku. Sekarang... aku dan suami sangat membutuhkan bantuanmu karena... karena hal buruk terjadi secara beruntun."

"Maaf, aku tidak bekerja secara gratis. Dan... masalah kalian bukan urusanku."

"Van, kali ini saja tolong. Aku tidak tahu harus menyelesaikan dengan cara apa atau atas bantuan siapa lagi."

Vanessa tersenyum kecil, "Aku sibuk, maaf. Audisi sebentar lagi dan aku tidak bisa merelakan waktu dan tenaga untuk sesuatu yang gratis. Tidak ada imbal balik pula nantinya," ujar Vanessa mengambil langkah tapi buru-buru ditahan.

"Maaf, Van, sungguh aku minta maaf sudah lalai dan tidak mendengarmu. Semua perkataanmu terbukti benar, yang kupercaya justru paling berkhianat. Sekarang tolonglah kami! Uang investor tersangkut entah ke mana dan suamiku didepak dari pabrik karena kerugian."

GRAND CUBETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang