Vanessa?

113 10 2
                                    


"Apa jangan-jangan..." kalimat Aoom mengambang membuat beberapa menunggu ingin mendengar opini di tengah-tengah ketidakmungkinan yang nyata ini. "CCTV telah diretas?"

"Tidak salah lagi. Kita juga harus cek waktu kembali. Siapa tahu mereka sempat melewatkan beberapa rekaman."

Engfa mempercepat waktu sampai tengah malam, waktu yang sangat memungkinkan bisa menangkap aktivitas kembalinya mereka. Sayangnya, kini lebih parah lagi karena hingga waktu di mana mereka bertemu tidak terekam sama sekali. Sampai keesokan pagi saat hendak menuju ruang CCTV juga tidak terabadikan di dalam kamera. Potret keberanjakan menuju kendaraan maupun keluar kampus pun tidak ada. Bak sejak sore lalu kampus telah kosong dan seluruh aktivitas benar-benar raib.

"Kalau kesalahan mataku atau pengaturan waktu, mengapa bisa sama-sama terjadi di tempat lain?" bingung Engfa bercampur takut.

Bulu kuduk mereka merinding, suhu ruangan terasa turun drastis padahal AC menunjukkan 24 derajat. Sebelum memutuskan sekali lagi mereka mencoba opsi lain. Mengecek penuh hari jumat pagi mulai dari para mahasiswi tiba, pembukaan kompetisi, sampai sore sebelum semua lenyap. Tak hanya di mana sembilan awak berada melainkan seluruh sudut dalam pantauan demi melihat asal lebih-lebih siapa sosok penyandera.

"Sia-sia," desis Heidi melepas kacamata dan terkekeh sinis.

"Andai malam di mana kita kembali atau sabtu pagi bisa langsung mengecek ke sini, pasti masih ada sisa rekaman."

Heidi menggeleng tak menyetujui asumsi Tina. "Tidak akan karena orang-orang ini adalah orang dalam, mereka tahu kapan ruangan CCTV beroperasi. Dan sembari menunggu hari senin berjaga-jaga kita kemari, mereka sudah siap meretas semua kamera."

"Apa maksudmu para pelaku adalah bagian dari divisi keamanan?"

"Bisa jadi tapi peretasan tidak membutuhkan akses ke sini atau dua komputer ini," sanggah Vanessa. "Jaringan saling terhubung, bisa diretas di mana dan kapan saja. Bisa melalui email, link, aplikasi di flashdisc yang dipasangkan ke komputer, atau lainnya."

Engfa memanggut setuju. "Bahkan saat videocall saja-"

"Hah, kau ahlinya," tegas Heidi bernada sinis. Alis kanan terangkat diikuti senyum makin mengintimidasi bak memantulkan pernyataan Vanessa untuk menyerang balik.

Vanessa menghela napas berat, tubuh yang agak membungkuk di sisi Meena sontak tegak dan mendekat. Bola mata datar seketika menajam sejurus bibir merapat. Melihat hawa mencekam di antara keduanya, Tina merangkul pundak Heidi seraya mengulurkan lengan menahan bahu Vanessa. Engfa ikut berdiri mendorong pelan kedua pundak mereka, takut berdampak pada alat-alat elektronik di sini.

"Hei, tahan! Tidak ada gunanya saling menuduh atau mencurigai."

"Mencurigai? Bukankah kalimatku berisi pujian?"

"Memuji katamu? Apa kau pernah belajar sesuatu bernama nada bicara dan konotasi?"

"Sudah, Van, jangan terbawa emosi," tutur Engfa lalu menyorot ke Heidi. "Kau tidak menemukan bukti melainkan masih terperangkap dalam opini lamamu. Pengetahuan Vanessa dalam peretasan tidak cukup menjadikan dia sebagai dalang. Hati-hati dalam berbicara!"

"Tidak cukup? Kalian ini tidak sadar, terlalu baik, atau kolot?" sungut Heidi meninggikan nada bicara. "Dia adalah satu-satunya awak tanpa pasangan atau dirumorkan memiliki pasangan. Dalam membuka kunci, namanya di antara Meena dan Aoom lalu di kedua piring makan pun jelas-jelas ada hati yang patah."

"Maksudmu... Vanessa mencintai salah satu dari mereka tapi harus patah hati karena cinta tak terbalaskan?" gumam Tina antara yakin dan tidak.

"Apa lagi? Sudah jel-"

GRAND CUBETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang