Jatuh (karena) Cinta

162 12 8
                                    


"Sial!" geram Vanessa memukul kemudi karena jalanan macet sementara baik Charlotte maupun Meena tak bisa dihubungi. 

"Mengapa kau tak memberitahu kami sebelumnya, Snack?" amuk Aoom mendengar pernyataan Snack bila ayahanda Charlotte adalah arsitek. 

"Aku hanya berusaha tidak berpikiran negatif, P'Aoom. Dan di video Grand Cube hanya menyebut kalau si arsitek adalah mahasiswi bukan orang tua dari mahasiswi."

Aoom mendesis geram tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia terus berusaha menghubungi Meena meski selalu berakhir tanpa jawaban. Sungguh menyesal membiarkan sang kekasih sendiri bersama sahabatnya yang ternyata seorang tersangka sekaligus peneror. Jelas-jelas teror sudah terjadi dua kali dan sosok rambut bergelombang masih tanda tanya, tapi Aoom justru begitu tenang membiarkan Meena bersama Charlotte semata-mata mereka bersahabat. 

"Hei, ayolah, cepat!" desis Engfa melihat rambut hijau beranjak kuning sementara mobil dan kendaraan di depan agaknya memilih patuh. "Sial!"

*

Byur! Segelas air menyiram ke wajah Meena membuat dia terhenyak tapi masih  sulit mengangkat kelopak. Jemari lentik sontak menjambak mengajak rahang menengadah, perlihatkan wajah pucat setengah sadar. Butir air mengalir membasuh darah di kedua pelipis  dan ekor mata. 

"Bangun, bodoh!" umpat Charlotte mengeratkan jambakan.

"Ch-char?" panggil Meena lemah nyaris hanya terdengar seperti desahan.

"Haahhh, istirahatmu cukup? Tidur berkualitas?" ceracau Charlotte melepas jambakan usai menepuknya lebih dulu lalu beranjak ke dalam.

Nyawa Meena perlahan terkumpul sejurus dua kelopak mulai bisa terangkat, mendapati diri berada di balkon luas atau loteng lebih tepatnya. Mungkin jarang dihuni pepohonan di pot-pot kaki sanding kaki pintu kamar layu dan kering. Debu juga pasir berebah di mana-mana. Genting rapuh yang retak berbaring nyaman di sisi pot dan beberapa sudut. 

Sementara dia sendiri? Nyeri luar biasa di ujung mata dan pelipis, wajah bagai disengat berulang kali. Belum pula ditambah sepasang lengan diikat ke belakang kursi juga kedua kaki dililit berimpitan. 

"Apa yang kau lakukan, Char? Tega sekali," batin Meena berkedip lemah. Bibir beku hingga bersuara lirih pun terasa sulit. 

"Maaf, lama menunggu!" Charlotte kembali tanpa tangan kosong. Sesuatu tersemat di antara jemari, benda rakitan besi yang biasa dimiliki para abdi negara. Pistol. Senjata berjenis revolver kaliber 32 menodong tak lebih dari belasan senti di depan kening Meena. 

Deg! Pundak Meena bergidik membuat rahang mengeras dan bola mata membulat sesaat. Tapi kemudian pistol diturunkan, si pemilik terkekeh mengejek meraih kursi kecil dan duduk berhadapan. 

"Haahhh, kau pasti sedang bertanya-tanya. Mengapa? Ada apa? Bagaimana? Benar, 'kan? Ini perjalanan yang panjang Meena ketika aku dan Engfa mulai renggang."


"Jangan jadikan Charlotte sebagai pelarian, P'Fa! Dia sangat tulus mencintaimu. Demi popularitas dan cinta sesaat kau menelantarkannya waktu itu. Sekarang jika mau kembali jangan sampai perasaanmu sebatas mengulang masa lalu yang kelak akan ditinggal lagi," tutur Tina memeluk Fondue, kucing kesayangan Heidi. 

"Aku tidak menjadikannya pelarian."

"Kalau Pichy tidak membalas perasaanmu atau kau lolos ke Grand World, apa dirimu akan menanyakan kabar Charlotte sekarang?"

Heidi dan Engfa terkesiap mendengar lesatan dari bibir Tina. Mereka saling bertukar pandang sejenak sebelum kemudian Engfa buka suara.

"Apa aku terkesan begitu?"

GRAND CUBETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang