Grand Cube

106 10 4
                                    


"Kau mencurigai dia?"

"Ucapan Heidi ada benarnya, belum lagi sepanjang permainan tidak ada kisi-kisi untuk kita selain potongan hati di piring. Kalau dibilang terlalu lemah, alasan ini menjadi masuk akal mengingat kesalahan lain pun tidak terlalu kuat."

Meena mencoba mengingat-ingat selama dia mengenal Vanessa, mahasiswi baru pindahan dari kampus di Saraburi. Sikap pendiam membuat mereka tidak sering berinteraksi pada awalnya sampai kemudian Pailiu dan Vanessa menjadi dekat. Ketiganya jadi cukup dekat dan kerap berada di ruang latihan meski kelas telah usai. Tapi sejauh yang diiingat, Vanessa memang straight, beberapa kali kedapatan mengobrol dengan kekasihnya.

"Apa yang meyakinkan kalau orang itu adalah kekasih Vanny?"

"Menurut pengakuannya dan... suara Vanny jadi lebih lembut. Dia juga mengakhiri panggilan dengan kata 'love you too' walau di depan kami."

Sambil mengikuti langkah Meena ke sisinya, Aoom bangkit terduduk dan menyibakkan selimut. Setelah tubuh sang kekasih tepat di sebelah ditutup lagi selimut sembari memberi kecupan kecil di bahu. Namun, meski berlaku manis tapi paras berdarah asli Thailand tidak terlihat teduh. Nyaris tak ada senyum tertoreh, pori-pori maupun sel di balik kulit bak mengencang akut.

"Soal perasaan tidak ada yang benar-benar pasti, hari ini mencintai siapa besok jatuh cinta pada siapa. Hari ini straight besok siapa tahu? Di antara semuanya dia yang paling mungkin jatuh cinta padamu setelah Pailiu."

"Entah sejauh perasaan atau memang Vanny tidak punya alasan mencintaiku. Lagipun dia lebih dekat dengan Pailiu."

"Tapi perasaan tidak ada yang tahu. Kau tampan dan cantik, siapapun akan jatuh cinta."

"Mmmmm," gumam Meena reflek tersenyum tak jadi menyuapkan sereal. "Jadi kita sedang membahas pelaku atau kecemburuanmu?"

"Kenapa harus cemburu kalau kau hanya milikku?" ketus Aoom kian membuat Meena tersenyum antara senang dan gemas karena gengsi mengakui rasa cemburu.

"Ouhhh? Tidak cemburu? Cing o?"

"Cing!"

"Cing?"

"Cing!"

Mata memicing dan sahutan masih ketus mengundang tawa Meena. Segelas sereal hangat tidak lagi menarik, dia lebih ingin mengecup lengan berlanjut ke bahu dan leher Aoom, membuat tubuh itu bergidik geli. Meski seakan menolak tapi lengan menyelinap di balik pinggang justru merangkul membawa tubuh Meena menindih ke atas.

"Cuphh! Aku tidak cemburu. Cuph! Kau milikku," ujar Aoom berkata dan mengecup pipi Meena bergantian.

"Hahahaha. Itu bohong tapi aku suka."

*

"P'Fa," panggil Nucha, teman sekaligus pengawas CCTV yang tempo hari memberi izin kesembilan wanita untuk berada di ruangan pemantauan.

"Eii, Nucha, araai?"

"P'Fa, aku akan mengambil cuti karena harus pulang kampung, ada urusan keluarga."

"Kebetulan sekali," batin Engfa. "Oh, lalu? Kau butuh pengawas sementara?"

"Hahhh, benar sekali, apa ada temanmu atau mungkin kau sendiri mau menggantikanku sementara? Hanya dua minggu atau lebih sedikit."

Bak dilempar bola salju kala terik merambah, Engfa langsung mengiyakan untuk mengambil posisi tersebut. Mereka pergi ke ruang CCTV untuk dijelaskan lebih detail jam operasional, pergantian waktu pengawasan, sampai kiat-kiat sebelum dan sesudah mengawas. Pria berusia lebih muda dengan rambut kelimis tak lupa menjelaskan fee harian, tapi Engfa tak memperhitungkan sama sekali upah tersebut. Dia mengiyakan saja sembari terus memanah tampilan monitor.

GRAND CUBETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang