Menu Masa Lalu

158 16 4
                                    

sawadeeka. jangan bosan jadi orang baik ya.

*

Sisa delapan wanita bergabung di dalam lift yang membawa mereka turun satu lantai saja. Ting! Pintu terbuka mempertontonkan ruangan baru, pekarangan berumput tipis dan meja makan bundar berdiri menghidangkan makanan lengkap dengan sembilan kursi. Sebuah pohon berdiri rindang memberikan oksigen sekaligus menjadi teduhan. Sangat kontras dari rancangan permainan busuk sepanjang waktu tadi.

"Ehmmm, kita berada di hari sabtu?" gumam Vanessa menebarkan pandang menatap langit cerah dan awan-awan gantung menggumpal. "Apa kita pingsan selama itu?"

"Bisa jadi tapi... apa ini sungguh nyat-"

Dug!

"Aw!" Heidi tiba-tiba mengaduh reflek mengusap kening usai membentur sesuatu ketika hendak melangkah lebih jauh. "Oh, ilusi?" Dia menepuk-nepuk udara yang tak lain adalah dinding.

"Ilusi?" Engfa menghampiri sisi Heidi, ikut menempelkan tangan di sana lalu mengikuti lekuknya hingga menemukan sudut. "Tidak nyata," tutur dia menjawab sendiri pertanyaannya tadi.

Dug!

Dug!

Meena dan Pailiu merasakan hal serupa ketika berjalan beberapa meter lebih jauh. Dari titik benturan, mereka mengikuti dataran dinding dan dengan mudah menemukan tiap sudut. Ternyata memang benar bahwa lahan luas bak hamparan padang rumput tak lebih dari ruangan ilusi seluas puluhan meter saja.

Snack memandang langit-langit lalu mencoba memetik daun pohon, dia sontak sadar pohon berdiri kokoh ini juga buatan. Daunnya terbuat dari plastik. Berarti cahaya matahari dan udara segar juga pastilah buatan semata.

"Oh ouh, ada wajah kita di masing-masing menu," seru Aoom terhenyak sesampai di dekat meja makan. "Tapi..., menunya sama saja."

Satu persatu awak berdiri memenuhi meja makan, tidak ada hidangan menonjol karena semua isi piring sama. Ayam krispi fillet, kentang goreng, dan semangkok kecil berisi saos bewarna coklat. Kemudian di setiap kanan piring berdiri segelas air. Di tengah berjajar aneka buah baik lokal sampai impor. Sayang, sodoran menggiurkan justru tidak ingin disentuh. Ada rasa takut dan curiga, barangkali terdapat perangkap atau apapun yang membahayakan.

"Menunya sama tapi benda tambahannya berbeda," sahut Meena melihat sebatang paku di bawah piring yang tertempel wajah Charlotte. Dilihat pula segelas es batu, benar-benar hanya es batu di sisi piring Engfa. "Apa tantangan paku adalah pembalasan dendam untuk Charlotte?"

"Bisa jadi," sahut Aoom menerawang ke foto Charlotte. "Mungkin tentang hari itu."

"Kau tahu perbuatan Charlotte yang berhubungan dengan paku?"

"Ya, aku bersamanya saat kejadian."


Aoom terus membuntuti langkah Charlotte, wajah mereka sama-sama gusar tapi berbeda makna. Berulang kali wanita blasteran menepis genggaman Aoom dan sama sekali tak ingin mendengar apapun. Dia sampai berlari berusaha menghindar tapi tetap saja Aoom tidak menyerah.

"Char, perbuatanmu bisa berakibat fatal termasuk untuk dirimu sendiri!" ujar Aoom memekik kecil meski kini mereka hanya berdua sama-sama berdiri di sisi mobil.

"Rektor sombong itu harus merasakan akibat karena sudah berani memarahiku di depan kelas, Aoom!"

"Kau memang bersalah karena-"

"Terlambatku tidak akan membuat dia kena potong gaji. Lagi pula, paku-paku ini hanya menghambat kepulangan bukan menutup usia beliau yang merasa paling terhormat. Tidak usah berlebihan!" Charlotte menebarkan paku payung berukuran campur.

GRAND CUBETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang