Kubus Yang Sama

117 13 12
                                    


"Kau tidak pernah bilang rumah orang tuamu cukup besar. Bahkan ada kolam renang di pekarangan. Haaahhh, bolehkah?" Meena tercengir menunjuk ke kolam renang berukuran 5m x 9m di halaman belakang.

"Mai dai! Bantu aku menghiasi dulu baru terserah mau berenang sesukamu," seloroh Charlotte menyusun buah di meja makan bundar yang cukup untuk selusin awak.

"Maksudku juga begitu. Hihihi." Meena meninggalkan bibir jendela ke sisi Charlotte membereskan sampah plastik dan ranting atau daun-daun kering. Dia menatap sejenak bekas tancapan paku di pergelangan sahabatnya. "Aku ingin melihatmu di kompetisi tahun depan."

Charlotte tersenyum sayu, memiliki luka membekas membuat dia terpaksa menarik diri dari kompetisi. "Kalau Aoom berhasil mengalahkan Heidi, maka lagi-lagi aku dan Heidi akan bersaing di tahun depan. Dia bukan saingan mudah."

"Lalu kenapa? Memiliki pesaing adalah hal wajar, kemenangan tanpa persaingan tidak terasa manis."

"Ehmmm, ya, kau benar," sahut Charlotte singkat tak ingin panjang-lebar membahas mengenai audisi tahunan. Tahun lalu dia gagal bersaing dengan Heidi, tahun ini undur lantaran luka. Pandai berakting saja tidak cukup jikalau tubuh lebih-lebih yang tampak justru ternodai bekas luka.

Meena meraih struk pembelian, ingin melihat kapan pesanan diantar. "Hahh, cukup lama. Padahal kau bisa beli lewat online dengan harga promo dan sampai tak lebih dari setengah jam."

"Hoohh, itu toko favorit daddy sejak lama. Aku juga tidak tahu mengapa mereka belum menyediakan jasa online."

"Suruh daddy ganti selera setelah ini. Hahahaha. Char, aku mau ke kamar mandi."

"Naiklah ke kamarku, keran di kamar bawah belum dibenarkan."

"Ok."

*

"Tidak ada kesempurnaan dalam kejahatan yang cerdik sekalipun, Van!"

Vanessa Natcha Wenk atau kerap disapa Vanny mematung mendengar lontaran sinis dari bibir Engfa dan Aoom. Dua wanita tersebut menyorot nanar seolah sudah tak sabar melayangkan tudingan yang kemungkinan besar adalah fakta. Sedangkan, Snack memandang sayu nan gugup seakan keberadaan di sana hanya bentuk keterpaksaaan.

"Kita harus bermain halus atau kasar?" tanya Aoom dingin, tapi kemarahan tertera jelas dari sepasang kepalan yang masih ditahan.

Vanessa melirik keluar radius mereka berempat, sisa dua mahasiswi yang bersiap-siap meninggalkan lobi. Sesekali pasang mata mereka berhenti di sini, paham ada aura tidak mengenakkan sejak tiga awak mengepung di depan eskalator. Selang tak lama dua mahasiswi di sana benar-benar lenyap.

"Masih sulit mempercayai kalau kau adalah pelaku, Van. Tapi beberapa bukti harus membungkam kepercayaan ini," gumam Snack meremas-remas pergelangan jaket. "Mengapa, Van? Sejauh ingatan, aku dan P'Pai tak pernah menyakitimu."

"Tujuan Vanny adalah aku, Snack, dia menginginkan Meena. Masalahmu dan Pailiu adalah hal berbeda lalu masalah sisanya adalah hal lain lagi. Benar, 'kan?" pekik Aoom menyentak sejurus membulatkan mata. "Mengakulah!"

"Van, mengaku saja. Meena dan aku tidak benar-benar pingsan di ruang sandera. Daripada itu, aku punya bukti helai rambut yang rontok di ruangan itu. Cocok dengan DNA rambutmu yang kuambil diam-diam di jaketmu."

Vanessa masih berdiri tenang tak terpancing emosi Aoom dan pernyataan Engfa. Sepersekian detik kemudian dia terkekeh dan tertawa kecil seolah ketiga sosok tengah membuat lawakan. Seiring tawa mereda, kepala menggeleng pelan tapi pandangan tak lepas dari kekasih Meena. 

"Bagaimana rasanya berjalan terpincang-pincang? Sayang sekali aku masih pingsan waktu itu. Jika tidak sudah pasti aku sendiri yang menendang kakimu sampai patah," celetuk Vanessa, seketika itu memancing Aoom menggebraknya ke dinding. 

GRAND CUBETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang