---
Hera duduk di dekat jendela kamarnya. Angin sore meniup lembut tirai putih yang setengah terbuka. Langit Jakarta agak sendu, seolah sedang berpikir. Sama seperti Hera. Gadis itu sedang berpikir keras, tapi bukan tentang pelajaran atau PR melainkan tentang dirinya sendiri.
Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia benar-benar merasa hidup?
Ia menatap meja belajarnya. Di sana ada buku tulis bekas, pulpen yang tintanya sudah setengah habis, dan secarik kertas polos. Tanpa berpikir panjang, Hera menarik kursi, duduk, dan mulai menulis. Tapi kali ini bukan tugas sekolah, bukan catatan pelajaran, bukan jurnal kebodohan dunia seperti yang sering ia tulis di kertas-kertas kecil penuh sindiran itu.
Ini adalah surat. Untuk dirinya sendiri.
---
Untuk Hera, yang sering lupa siapa dirinya.
Hai, kamu.
Apa kabar?Kamu pasti capek ya?
Aku tahu. Kamu selalu pura-pura nggak peduli, padahal kamu cuma takut berharap. Karena kalau udah berharap, sakitnya selalu dobel. Dan kamu udah terlalu sering ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, terlalu sering dikecewakan pas lagi butuh-butuhnya.Tapi boleh nggak, sekali aja, kamu jujur sama dirimu sendiri?
Bahwa kamu sebenarnya ingin dipeluk.
Bahwa kamu pengen banget seseorang bilang, "Kamu cukup."
Bahwa kamu capek jadi kuat sendirian.
Dan kamu nggak harus pura-pura cuek terus-terusan.Kamu itu hidup, Her. Bukan bayangan yang numpang lewat di rumah sendiri. Kamu punya hak buat bahagia, buat marah, buat nangis, bahkan buat bilang, "Aku butuh kalian."
Dan kalau hari ini terasa berat banget, nggak apa-apa. Istirahat aja dulu.
Nanti kalau kamu udah kuat lagi, baru jalan lagi. Nggak usah buru-buru. Yang penting kamu nggak berhenti.Jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya.
Kalau nggak ada yang peluk kamu, peluk dirimu sendiri.
Karena sampai kapan pun, kamu akan selalu punya satu orang yang bisa kamu andalkan: dirimu sendiri.Dari,
Orang yang paling ngerti kamu juga.---
Hera berhenti menulis. Matanya basah, tapi ia tidak menangis. Ia hanya membiarkan air mata turun seperti hujan kecil yang reda dengan cepat.
Ia melipat kertas itu perlahan, menyelipkannya di balik buku hariannya. Bukan untuk dibaca orang lain. Bukan untuk diumbar. Tapi untuk disimpan—dan suatu saat dibaca ulang, saat dunia terasa terlalu berat lagi.
Di luar, langit mulai berubah warna. Jingga keabu-abuan. Dan Hera, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, merasa sedikit lebih utuh. Meski belum bahagia, tapi setidaknya ia sudah mulai berdamai.
Dengan luka.
Dengan diam.
Dengan dirinya sendiri.---
Hera melangkahkan kaki menuju dapur untuk mengambil air minum namun langkahnya terhenti karena suatu suara.
"Lo orang yang paling pengen gue buat pergi dari keluarga ini" ujar seseorang dari belakang Hera.
Hera tak perlu menoleh untuk tau siapa orang itu, iya sudah tau. Itu adiknya, Nala.
"Lo mau coba ngambil perhatian Papa dari gue ya?" Tuduh Nala berdiri didamping Hera.
Hera menghela nafas lelah lalu menatap Nala, "Lo nggak usah sok ngerasa paling menderita deh kak, menjijikan." Sambung Nala sambil menatap Hera dengan pandangan jijik.
"Ambil aja."
"Lo lebih butuh kan," ucap Hera lalu berjalan menuju dapur mengambil air dan kembali ke kamar.
Nala yang melihat itu mendengus sebal mendengar jawaban dari kakaknya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Omnia Paratus [End]
Genç KurguHera merasa seperti hantu di rumahnya sendiri. Ia tak pernah benar-benar dimarahi, tapi juga tak pernah dicari. Ia tumbuh dengan keheningan setiap harinya. Di balik sikap cuek dan tatapan kosongnya, Hera cuma anak yang diam-diam berharap: "Tolong, l...