Anak yang haus perhatian orang tuanya sejak kelahiran adiknya itu tumbuh menjadi anak yang tak peduli sekitar, ditambah masalah yang selalu datang setiap ia mulai merasakan bahagia.
Mampukah anak itu bertahan, atau malah menyerah?
Opa Adit menggendong Hera lalu berjalan menuju mobil dan menjalankannya menuju bandara.
Selama perjalanan mobil itu ramai oleh canda tawa Hera dan Oma Dita sedangkan Opa Adit hanya
++++++++++++++++++++++++++++++
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup memakan waktu akhirnya mereka sampai di bandara, Hera menatap senang jejeran pesawat yang akan lepas landas.
"Nah nanti disana kamu jangan nakal nakal ya, jaga kesehatan, kalo Tante Nada ngapa ngapain kamu bilang sama Oma sama Opa jangan, belajar yang rajin, jangan kebanyakan main, jangan sering sering makan makanan instan, jangan-"
"Iya Oma Hera tau kok," ucap Hera memotong ucapan Oma Dita, Oma Dita yang ucapannya dipotong oleh cucunya hanya bisa tersenyum.
"Hera pergi dulu ya Oma, Opa."
"Hera, ini." Opa Adit memberikan 4 buah kartu kredit, Hera menatap kartu itu dengan terkejut.
"Ini buat Era Opa?" tanya Hera dengan semangat, Opa Adit mengangguk.
"Ini untuk kamu sayang, nanti ada lagi tapi di Tante Nada," jelas Opa Adit dengan mengelus sayang kepala Hera.
"Hera pergi dulu ya Opa, Oma, jaga kesehatan ya Hera sayang kalian." Hera memeluk Opa dan Omanya yang disambut oleh mereka berdua juga.
Setelah pesawat yang ditumpangi Hera lepas landas Opa Adit langsung menelpon anak buahnya untuk membicarakan sesuatu yang penting.
"Halo, tarik saham kita dari perusahaan menantuku."
"Tapi kenapa pak."
"Tak usah banyak bertanya lakukan saja."
Setelah mengatakan itu Opa Adit langsung mematikan telpon itu lalu berjalan menuju istrinya yang sedang duduk.
"Ayo kita pulang, nanti kita sesekali akan mengunjungi Hera dan untuk anak itu sudah aku beri sedikit pelajaran."
Oma Dita mengangguk mendengar itu, ia tak tega Hera pergi jauh tapi kalah cucunya itu tetap disini yang ada akan terus merasakan sakit.
************
Sementara itu di rumah Nindi, Hamka sedang mengamuk karna perusahaannya turun drastis.
"BAJINGAN," teriak Hamka entah pada siapa pria itu seperti orang kesetanan sejak tadi Nindi tak tau apa masalahnya.
"Mas kamu kenapa si, dari tadi marah marah nggak jelas," ucap Nindi yang jengah melihat kelakuan suaminya itu, saat pulang tadi suaminya sudah marah marah tidak jelas.
"Tua Bangka itu cabut semua sahamnya dari perusahaan kita."
"Siapa si yang kamu maksud aku nggk paham."
Hamka menatap bengis pada Nindi, Nindi yang ditatap seperti itu jelas takut Hamka adalah orang yang ringan tangan sekali kalian tau itu kan.
"Siapa lagi kalo bukan Papah lo itu, sialan perusahaan jadi turun drastis gara gara dia cabut semua sahamnya."
Nindi jelas terkejut mendengar itu bagaimana mungkin Papahnya melakukan hal ini, "gimana bisa mas," tanya Nindi.
Hamka menatap Nindi lalu menatap kamar Hera, "Hera dimana?" tanya Hamka bukannya menjawab pertanyaan Nindi ia malah menanyai Hera.
"Ada dikamarnya kok," saut Nindi.
Mendengar itu Hamka ragu lalu ia bergegas menaiki tangga lalu menuju kamar Hera, saat membuka pintu kamar itu kosong bahkan banyak baju baju diatas kasurnya.
"Anak sialan, lo liat semuanya jelas sekarang kan, anak itu anak lo itu kabur dan pasti dia ketemu sama kakek neneknya," jelas Hamka menggebu gebu.
Nindi menggeleng tak percaya, apa tadi katanya Hera kabur bagaimana bisa Nindi menangis mengetahui anaknya pergi entah kemana.
"Lo ngapain nangis sialan, gara gara bocah itu perusahaan gue jadi diambang kebangkrutan!"
"Stop mas, ini bukan Salah Hera ini-"
Plak plak
Bunyi dua tamparan menggema dikamar itu Hamka menampar Nindi membuat ucapannya terhenti.
"INI SEMUA SALAH ANAK LO ITU SIALAN, AAARGHHHH BAJINGAN!" teriak Hamka membabi-buta dan jangan lupakan semua barang sudah berserakan terkena amukan Hamka.
"LO DENGER YA KALO SAMPE KITA BANGKRUT GUE NGGAK SEGAN SEGAN BUNUH LO SIALAN." teriak Hamka pada Nindi, sungguh siapapun tolong Nindi sekarang juga.
Nindi hanya bisa menangis pipinya sakit tamparan Hamka kuat sekali, Nindi khawatir pada Hera yang pergi entah kemana tapi juga ada sedikit rasa benci yang tumbuh didalam hatinya pada anaknya itu.
Nindi berfikir ini semua disebabkan oleh Hera tanpa disadari bahwa semuanya tidak akan terjadi kalau dirinya dan juga Hamka bisa berlaku adil pada semua anaknya, tapi Nindi sungguh gelap mata bahkan sekarang dia sudah menaruh rasa benci pada anaknya sendiri.
Follow akun WP aku ya, mau di follback? DM aja oke🐣 Facebook : Dewi Wi Instagram : its.blue_cat
11-01-24
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.