17

8 1 0
                                    

Dalam pemikiran Dhira, orang semacam Mirza akan pergi begitu saja setelah selesai menjahili korbannya.

Nyatanya tidak. Tepat di belakangnya, seorang laki-laki yang memakai aksesoris anting hanya di telinga kanannya saja terlihat tak ada  bosan-bosannya menjahilinya. Lagi.

Mirza, laki-laki itu dengan jahilnya menganggu gadis itu dengan menarik-narik beberapa helai rambut Dhira yang memang dibiarkan tergerai bebas.

Tanpa menatap lawan bicaranya dan terus saja melangkah, Dhira meminta laki-laki itu untuk berhenti mengganggunya, "tolong berhenti berbuat seperti itu."

Mirza akhirnya berhenti menarik-narik rambut Dhira, meskipun demikian laki-laki itu justru semakin menjadi-jadi untuk menjahili gadis yang tingginya hanya sepundaknya itu.

"Lo pendek banget," ejeknya.

Dhira tak menanggapinya.

"Katanya orang pendek hidupnya cuma 15 sampai 20 tahun," lanjutnya. Tentunya dengan nada yang mengejek.

Sekte dari mana itu?
Batinnya.

Dhira memutar bola matanya malas. Ia akhirnya membiarkan laki-laki itu berceloteh.

Setibanya Mereka di teras puskesmas, perhatian Dhira langsung tertuju pada sosok Pandu yang tengah berdiri dengan kedua tangannya sibuk mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Laki-laki itu tampak tak terusik dengan kedatangan dua insan itu.

Ia baru sadar saat Dhira sudah benar-benar berdiri di depannya. Pandu mengalihkan netranya dari layar ponselnya. Seketika wajahnya tersenyum sumringah menatap gadis di depannya.

"Aku kira Kakak kemana," ucapnya terdengar gelisah.

Dhira menunjukkan kantung plastik hitam yang ia tenteng dari tadi, "cuma jajan sebentar."

Laki-laki itu menghembuskan nafasnya, netranya beralih menatap sosok di belakang Dhira yang serupa dengan preman pasar.

Ekspresi wajahnya berubah drastis. Datar. Sama halnya dengan Mirza. Mereka berdua bertatapan dengan sorot mata yang kurang bersahabat.

Tak ada sepatah katapun yang terucapkan. Tidak ada sapaan atau sejenisnya yang biasanya digunakan antar teman untuk saling menyapa.

Sementara itu, Dhira sebagai penengah di antara suasana kurang bersahabat itu langsung berspekulasi bahwa dua laki-laki itu memiliki hubungan yang kurang baik.

Getaran ponsel di dalam saku celana Dhira berhasil menarik perhatian Mereka. Setelah melihat spam chat dari Sang Ayah yang terus menanyakan keadaan anak gadisnya, Dhira segera menarik Pandu ke parkiran Puskesmas, tempat di mana mobil Pandu yang sudah setengah hancur terparkir.

"Maaf Aku cuma bisa nganter Kakak sampai di sini karena bisa berbahaya kalau naik mobil yang udah hancur, selanjutnya Kakak bisa naik taksi. Sebentar lagi datang, kok," jelas Pandu dengan nada pelan, tetapi masih bisa terdengar.

"Lukamu..."

"Nggak usah khawatir, Kak. Aku udah nggak papa, kok," sela Pandu disusul dengan senyum lembutnya.

Tanpa Dhira sadari, taksi yang dipesan oleh Pandu sudah tiba.

"Pulang, Kak!" Pandu membalikkan tubuh gadis itu. Dhira pun menahan diri untuk tidak masuk ke dalam taksi karena merasa tidak tega meninggalkan Pandu dalam kondisi seperti ini. Meskipun luka memar di beberapa bagian tubuh serta luka sobek di keningnya sudah diobati.

Akibat melihat Dhira yang diam tak bergeming membuat Pandu terpaksa mendorongnya dengan pelan untuk segera masuk ke dalam taksi.

"Kabarin Aku kalau Kakak udah sampai di rumah, ya." Dhira mengangguk lalu mengucapkan terima kasih sebelum pintu taksi ditutup oleh laki-laki itu.

I Fancy You DhiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang