"Nilai 92 itu tidak cukup, seharusnya kau bisa mendapatkan nilai 95 lebih."
Pandu menundukkan kepalanya menatap sedih dan kesal selembar kertas ujian di kedua tangannya.
"Kakakmu dulu bisa mendapatkan nilai 98 bahkan 100 karena dia rajin belajar dan mendengarkan ucapan Ayah," ucap Wira santai tanpa memperdulikan perasan laki-laki yang lebih muda darinya itu.
"Setidaknya kau harus bisa menyamainya," lanjutnya.
"Mau jadi apa-"
"Sebenarnya anak ayah itu aku atau kak Elfin?" Pandu akhirnya membuka suara setelah sekian lama terbungkam dengan ucapan ayahnya.
"Dari dulu, ayah selalu seperti ini. Membanding-bandingkan anak."
"Menurutmu dengan begitu, aku bisa maju? Yang ada aku malah stress." Nada suara Pandu mulai meninggi. Menatap kecewa sosok di depannya. Mengeluarkan semua rasa sakit hati yang ia pendam selama ini.
"Jaga sikapmu! Beraninya kau berteriak kepada orang yang lebih tua," tegas Wira hingga berdiri dari kursi kerjanya. Suaranya bahkan menggema di ruangan itu.
"Maumu apa sebenarnya?" tanyanya dengan nada yang merendah menahan kesal.
"Aku cuma mau ayah berhenti membandingkan kak Elfin dan aku. Aku ingin ayah menghargai kerja kerasku. Tidak menuntutku untuk jadi sempurna. Hanya itu! Apa sesulit itu?" tanya Pandu.
"Ayah melakukannya demi kebaikanmu," tegas Wira.
"Kebaikan? Kebaikan apa?" sahut Pandu membuat Wira semakin tersulut emosi.
"Cukup! Keluar dari sini!" Wira berteriak. Mengusir putranya untuk keluar dari ruang kerjanya.
Merasa lelah dan putus asa, akhirnya Pandu keluar dari ruang kerja ayahnya. Sementara itu, Wira bergumam dengan tangan kanannya yang memijit pelipisnya. "Anak sialan, membuatku pusing saja."
Letih berurusan dengan ketidakpuasan ayahnya, Pandu memutuskan pergi ke suatu tempat yang menurutnya bisa membuatnya lebih tenang. Setidaknya membuatnya melupakan sejenak masalahnya.
Lapangan basket, tujuan utama laki-laki itu tampak sepi. Momen yang tepat untuk meluapkan emosinya. Namun, pikirannya keliru. Karena tak jauh dari tempatnya berdiri, sosok familiar tampak mendekat ke lapangan basket.
Rian, laki-laki berkaus putih dengan celana training hitam berjalan santai masuk ke lapangan basket. Melihat itu, Pandu jadi enggan ke sana. Selain karena ia tidak suka dengan kedekatan Rian dan Dhira. Pandu juga tidak bisa menikmati kesendiriannya bermain basket.
Pandu berbalik badan. Kembali menghampiri motornya sesekali memikirkan tempat yang bisa ia kunjungi selain lapangan basket.
Langkahnya terhenti saat seseorang menyerukan namanya. Pandu menoleh dan ternyata Rian lah yang memanggilnya.
"Sini lo," suruhnya dengan berteriak. Dan entah mengapa Pandu menurutinya.
...
Hari semakin sore, dua laki-laki masih sibuk dengan sebuah bola basket. Saling bersaing demi memperoleh poin unggul.
Kali ini, Rian sukses mengalahkan Pandu. Di sisi lain, Pandu yang kalah justru ikut senang. Laki-laki itu terduduk di lantai. Kedua kakinya diluruskan ke depan, sementara kedua tangannya menahan tubuhnya yang kelelahan sehabis bertanding basket dengan Rian.
Napasnya bahkan masih ngos-ngosan. Keberadaan Rian membantu mengalihkan pikirannya dari kegelisahan dan tekanan yang ia rasakan sebelumnya.
Rian menyodorkan sebotol air mineral padanya. Pandu menerimanya dengan senang hati. Tak lupa dengan ungkapan kata terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Fancy You Dhira
Fiksi RemajaDi balik sosok cantik nan manis itu, tersembunyi luka emosional dari masa lalunya yang telah membuatnya menjadi sangat waspada dan skeptis terhadap dunia di sekitarnya. Ia sulit untuk percaya pada orang lain dan sering kali menarik diri dari inter...