Pandu melangkah gontai, tubuhnya lelah. Ia melempar tas ke sudut kamar dan merebahkan diri di kasur. Pandangannya kosong, menerawang langit-langit yang terasa begitu jauh. Pikirannya kacau, dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab.
Tiba-tiba, sebuah ketukan lembut di jendela balkon membuyarkan lamunannya. Dengan rasa penasaran yang campur aduk, Pandu bangkit dan membuka pintu balkon. Sebuah bungkusan misterius tergeletak di lantai, tak ada nama pengirim.
Hati-hati, Pandu membuka bungkusan itu. Di dalamnya, tersimpan sebuah buku diary berwarna merah muda. Buku diary milik Dhira. Dengan rasa penasaran yang berubah menjadi rasa iba, Pandu membaca setiap coretan di buku itu. Kata-kata Dhira seperti pisau yang menusuk hatinya. Ia baru tahu betapa dalam luka yang selama ini Dhira pendam.
"Aku gak nyangka dia sehancur ini," gumam Pandu lirih.
Pandu membaca hingga larut malam. Lampu kamarnya seakan-akan hanya menerangi buku diary berwarna merah muda itu. Tulisan tangan Dhira yang anggun, kini terlihat begitu menyayat hati. Setiap kata yang dibaca, seakan menusuk relung hatinya. Pandu merasakan kepedihan yang mendalam, menyesali kebutaannya selama ini. Ia baru menyadari betapa egoisnya dirinya, hanya memikirkan perasaan sendiri, sementara Dhira berjuang sendirian dalam kegelapan.Ia merasa seperti sedang menyelam ke dalam lautan kesedihan Dhira. Ia menyesal karena selama ini terlalu fokus pada perasaannya sendiri, tanpa menyadari penderitaan yang dialami Dhira.
.....
Keesokan harinya, Pandu menemui Dhira di sekolah. Ia menunggunya di depan kelas. Di saat Dhira keluar, ia mendekatinya dengan hati-hati.
"Kak Dhira, bisa kita bicara sebentar?" tanya Pandu dengan nada lembut.
Dhira menatapnya bingung, tetapi mengangguk. Mereka berjalan ke taman sekolah yang sepi.
"Aku... aku menemukan sesuatu di balkon kamarku." Pandu mengawali percakapan.
"Buku diarymu." Laki-laki itu memperlihatkan temuannya kemarin.
Wajah Dhira langsung memucat. "Kamu... kamu baca?"
Pandu mengangguk pelan. "Iya, dan aku sangat menyesal, Kak. Aku nggak pernah tahu kalau kakak mengalami semua itu. Aku sadar sekarang, semua yang kulakukan selama ini... aku hanya memperburuk keadaanmu."
Dhira menghela napas panjang, menunduk. "Itu udah lama, jadi nggak perlu dibahas lagi."
"Aku tahu, dan aku mau bantuin kakak," kata Pandu dengan tulus.
"Aku ingin kakak tahu kalau kakak nggak sendirian. Aku akan ada di sini untukmu, apapun yang terjadi."
Mata Dhira berkaca-kaca, tetapi ia tetap diam. Pandu melanjutkan. "Aku udah mikirin ini sepanjang malam. Aku mau bantu kakak berdamai dengan masa lalu dan traumamu. Aku mau kita bicara sama sepupuku, dia seorang psikiater profesional. Mungkin dia bisa bantu lebih banyak."
"Nggak. Itu nggak perlu. Kamu nggak perlu ikut campur."
"Ta-tapi"
"Cukup! Aku maafin kamu karena udah baca isi diaryku dan makasih atas perhatianmu. Tapi aku bisa sembuh sendiri dengan caraku." Dhira memotong ucapan Pandu dengan suara yang tegas namun emosional.
Pandu terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia memandang Dhira dengan rasa campur aduk. Setelah beberapa saat, Pandu mulai berbicara dengan lembut, mencoba meredakan ketegangan.
"Kak Dhira," ucap Pandu dengan nada lembut.
"Aku mengerti kalau kakak ingin berjuang sendiri. Tapi, izinkan aku untuk bilang ini—aku akan selalu support Kakak. Aku nggak ada maksud untuk melanggar privasimu, dan aku benar-benar minta maaf kalau itu bikin kakak merasa nggak nyaman," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Fancy You Dhira
Teen FictionDi balik sosok cantik nan manis itu, tersembunyi luka emosional dari masa lalunya yang telah membuatnya menjadi sangat waspada dan skeptis terhadap dunia di sekitarnya. Ia sulit untuk percaya pada orang lain dan sering kali menarik diri dari inter...