29

1 0 0
                                    

Sudah dua hari Pandu berusaha untuk menghindari Dhira. Namun, nasib seakan mempermainkan mereka. Setiap kali Pandu mencoba menjauh, ia malah bertemu Dhira di tempat yang tak terduga.

Hari ini, mereka sama-sama berada di bus yang penuh sesak dengan penumpang malam. Dhira baru saja selesai tampil di kafe, sementara Pandu baru pulang dari perpustakaan setelah menyelesaikan tugas kelompok.

Mereka berdiri berdesak-desakan di antara penumpang lain, termasuk para karyawan pabrik yang juga hendak pulang. Bahkan untuk sekadar berdiri dengan nyaman pun mereka kesulitan.

Ketika bus berhenti di halte, beberapa penumpang naik dan turun, memberi ruang sedikit untuk mereka bernapas, tetapi tetap saja bus itu sesak.

Tak lama setelah itu, sopir bus tiba-tiba menginjak pedal gas terlalu cepat, membuat para penumpang yang berdiri terhuyung ke belakang. Dhira yang berdiri tepat di depan Pandu pun ikut terdorong hingga tubuhnya terempas ke arah Pandu. Pandu yang belum siap, hanya bisa diam mematung, membiarkan tubuh mungil Dhira terhuyung ke arahnya hingga bersandar di dadanya. Dadanya berdebar keras, dan wajahnya seketika memerah.

Kecilnya banget. Pengin peluk...
batin Pandu, tak mampu menahan perasaan yang selama ini ia tutupi.

Namun, Dhira tak menyadari keberadaannya dan sibuk menanggapi permintaan maaf pada wanita di depannya yang secara tak sengaja menginjak ujung kakinya. Pandu hanya bisa menatap punggung Dhira sambil menahan perasaan yang bercampur aduk.

"Maaf ya dik, kamu nggak papa kan?" Dhira mengangguk," nggak papa mbak," balasnya menyakinkan wanita di hadapannya.

Tak lama kemudian, bus kembali berhenti di halte berikutnya, tempat Dhira harus turun. Ketika gadis itu hendak keluar dari bus, ia merasa rambutnya tertarik. Dia menoleh dan mendapati helai rambutnya tersangkut di kancing kemeja Pandu.

Gadis itu mengaduh kesakitan, dan ketika menyadari bahwa Pandu yang berada di belakangnya, ia menghela napas lega karena ternyata Pandu adalah seorang yang dikenalinya, tapi ia juga bingung bagaimana melepaskan rambutnya yang terjebak.

Dengan rasa tergesa-gesa karena bus akan segera bergerak, keduanya berusaha melepaskan helai rambut yang tersangkut. Tak ingin merepotkan Pandu, Dhira menarik lengannya, meminta Pandu untuk ikut turun dari bus agar mereka bisa berusaha lebih tenang di halte.

Begitu tiba di halte, Dhira masih berusaha membebaskan rambutnya dengan canggung. Namun, Pandu segera mengambil alih dengan cekatan, melepaskan helai demi helai rambut yang terjebak tanpa menyakitinya.

“Makasih,” ucap Dhira pelan sambil tersenyum lega.

Pandu hanya mengangguk sambil balas tersenyum. Namun, suasana tiba-tiba terasa canggung. Dhira merasa bersalah karena telah membuat Pandu turun di halte yang seharusnya bukan tempatnya berhenti. Ia menggenggam ujung bajunya, menunduk sambil berbisik pelan.

“Maaf ya, kamu jadi harus turun di sini…”

“Eh?” Pandu sedikit terkejut, lalu berusaha menenangkan Dhira. “Nggak kok, Kak. Aku bisa pesen ojek online.”

Dhira mengangkat wajahnya, dan Pandu mendapati gadis itu menatapnya dengan mata yang sedikit basah, air mata berlinang membasahi pipinya yang lembut.

“Kak?” Pandu mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

“Aduh. Maaf.” Dhira segera mengusap air matanya, berusaha menahan tangisnya yang tiba-tiba pecah. Pandu merasa semakin cemas, dadanya sesak melihat Dhira dalam keadaan seperti itu.

“Kenapa, Kak? Ada yang jahat sama Kakak? Atau kepala Kakak masih sakit?” Pandu bertanya dengan nada pelan dan lembut, tak ingin membuat Dhira merasa semakin tertekan.

Dhira hanya diam, masih sibuk menghapus air matanya yang terus mengalir. Pandu berusaha tetap tenang, mencoba menghibur Dhira meski bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Ia menghela napas panjang dan berkata, “Ayo duduk dulu. Aku tungguin sampai Kakak selesai nangisnya, ya.”

Dhira hanya mengangguk kecil dan duduk di bangku halte, berusaha meredakan emosinya. Pandu duduk di sebelahnya, memberikan ruang tanpa berkata apa-apa, cukup dengan kehadirannya di samping gadis itu. Setelah beberapa saat, tangis Dhira mulai mereda, dan ia menghela napas panjang, tampak sedikit lega.

“Aku udah pesenin kamu ojek online. Sebentar lagi datang, kok.” Dhira bangkit sambil memasukkan ponsel ke saku celana jeans-nya, tampak lebih tenang.

“Makasih udah nemenin aku sampai malam begini. Maaf juga udah ngambil waktu istirahatmu,” ucap Dhira sambil memegang pundak Pandu yang masih terduduk.

Pandu ingin mengatakan sesuatu, namun suaranya terpotong oleh kedatangan ojek yang Dhira pesan.

“Ojek atas nama Mbak Dhira?” kata pengemudi dengan suara yang tegas namun ramah. Mereka berdua menoleh bersamaan menatap bapak tukang ojek itu.

"Iya benar, Pak. Tolong anterin teman saya pulang ya, Pak," Pinta Dhira ramah. Bapak tukang ojek mengiyakannya dengan nada semangat.

Dhira menoleh ke Pandu, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sampai ketemu lagi di sekolah. Hati-hati di jalan, Pandu,” ucapnya. Pandu balas tersenyum kecil, berusaha menampilkan kepercayaan diri meski jantungnya berdebar.

Dengan hati yang agak berat, Pandu menghampiri ojek pesanan Dhira dan menerima uluran helm dari Bapak tukang ojek berwarna putih dengan sedikit lecet ringan dibeberapa bagian. Kemudian mendudukkan dirinya dengan nyaman di jok belakang.

Ia melambaikan tangannya ketika bapak tukang ojek siap membawanya pergi dengan motor matic hitamnya. Dhira membalas melambaikan tangannya.

Meski ojek sudah membawanya pergi, matanya tak lepas dari gadis itu hingga benar-benar tak terlihat lagi. Rambut panjangnya yang tertiup angin seolah menambah kesan lembut pada sosoknya yang tampak cantik di bawah sinar bulan purnama.

Pandu lagi-lagi terpesona. Tidak! Ia selalu terpesona dengan sosok gadis itu. Sosok cantik dengan segala traumanya di masa lalu.

.....

Dhira berjalan menuju dapur dengan santai, tetapi pikirannya berisik. Hari ini hari yang terasa berat baginya. Membuka pintu kulkas, ia mengambil puding coklat dan menyantapnya sambil duduk di meja makan.

Beberapa hari ini, Cafe tempatnya bekerja kedatangan karyawan baru. Seorang pelayan yang agak jutek dengannya. Hari ini, pelayan perempuan itu tidak sengaja menumpahkan air dingin ke pakaiannya sebelum tampil bernyanyi. Tidak ada kata maaf yang keluar dari mulutnya. Dhira tidak tahu mengapa pelayan itu tampak begitu membencinya. Moodnya benar-benar menjadi buruk saat itu juga.

"Kak Dhira!" Dhira menoleh. Di belakangnya sosok Mika berdiri menatapnya polos.

"Kok Mika belum tidur?" tanya Dhira. Mika menghampiri gadis itu dan duduk di sebelahnya.

"Mika tadi udah tidur kok. Terus mau pipis."

"Udah?" Mika mengangguk lucu. Kedua netranya beralih menatap puding coklat milik Dhira.

Dhira yang peka mulai membuka suara. "Mika mau?" tawarnya.

"Mau," balasnya antusias.

Dhira memberi Mika puding coklat yang baru. Mereka berdua menikmati bersama puding coklat buatan Ana di tengah malam.

"Mika nggak mau tidur lagi?" tanya Dhira setelah memakan suapan terakhir.

"Udah nggak ngantuk." Mika membalas.

"Kurang tidur nggak bagus loh. Apalagi kamu masih dalam masa pertumbuhan. Mika emangnya nggak mau tumbuh sehat? Mika mau sakit-sakitan?" Mika menggeleng cepat.

"Tapi..."

"Tidur sama kakak mau?" Sela Dhira.

"Boleh." Mika menyetujui.

..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 16, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Fancy You DhiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang