23

5 1 0
                                    

Hampir dua minggu sudah ujian berlalu, dan kini detik-detik menegangkan menanti hasilnya. Memang terasa menegangkan. Apalagi jika kita belum tahu nilai yang kita peroleh. Apakah mengkhianati usaha atau tidak?

Namun, yang menyesakkannya, ketika murid yang curang mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan murid yang jujur. Rasanya tidak adil. Tetapi, ingatlah bahwa tuhan tidak pernah tidur.

Hari ini, Pandu duduk di bangkunya dengan mata bersinar cerah. Ia memegang lembaran hasil ujian matematika yang baru saja  dibagikan. Kepuasan terjingkat ke dalam benaknya, ketika melihat  angka 92 di selembaran kertas.

Jantungnya berdetak kencang, kepuasan meluap dalam dirinya. Itu nilai matematika milik Pandu. Ingin rasanya laki-laki itu berteriak kegirangan. Menyampaikan kepada semesta bahwa ia berhasil.

Saat jam istirahat, ia berniat untuk memberitahu kabar baik ini kepada ibunya. Dengan hati yang berdebar, dia mengambil ponselnya dan menekan nomor ibunya, Clara. Tungguan yang berdebar membuncah saat nada panggilan terdengar di seberang sambungan.

Dengan nada gugup, Pandu menyapa ibunya terlebih dahulu. "Halo, Bu?"

"Hai, Nak! Ada apa?"

"Bu, Aku ingin memberitahumu sesuatu! Aku dapat nilai 92 di ujian matematika!" kata Pandu

Clara terdengar terkejut. Lantas berkata, "Wah, benarkah? Itu luar biasa! Ibu sangat bangga padamu!"

Pandu tersenyum bangga. "Terima kasih, Bu! Ini berkat Ibu dan Kak Dhira juga."

"Kau sudah melakukan pekerjaan yang luar biasa, Nak. Ini bukti dari usahamu yang gigih. Pertahankan lah!"

"Baik! Terima kasih atas dukungannya."

"Ibu akan selalu mendukungmu, Nak," balas Clara membuat hati Pandu menghangat.

...

Pada hari Sabtu pagi, masih dengan semangat karena kabar baik yang ia terima, Pandu memutuskan untuk merayakannya dengan Dhira. Ia membawa kakak kelasnya itu ke mall terbesar di kota, berniat untuk bersenang-senang dan menghabiskan waktu bersama. Bahkan Pandu secara diam-diam sudah membuat daftar tempat-tempat yang akan mereka berdua datangi.

Dengan menaiki lift, mereka berdua tiba di lantai dua mall. Toko buku adalah tempat pertama di dalam daftar Pandu. Dhira tersenyum kecil tanpa sadar begitu melihat rak buku berisi buku diary, gadis itu berlari kecil menghampirinya. Mengambil satu buku diary dengan sampul berwarna hijau mint yang menarik perhatiannya sejak tadi.

Kedua matanya membulat, tak lama senyumnya mengembang setelah melihat sampul buku itu bergambar gitar akustik coklat. Buku itu seakan-akan memang dibuat khusus untuknya.

"Kakak suka menulis diary, ya?" Pandu berdiri di samping Dhira. Ikut melihat buku diary di tangan Dhira.

"Nggak juga. Aku cuma suka warna dan sampulnya." Senyum Dhira meredup. Buku di tangannya, ia kembalikan pada raknya.

Alis Pandu terangkat sebelah. Menatap penuh heran gadis di sampingnya. "Kenapa dikembalikan?"

"Aku nggak nulis diary." Dhira melangkah meninggalkan laki-laki itu menuju rak buku novel.

Pandu mengekor di belakangnya. "Kenapa?"

"Bukan urusanmu."

Bukannya tidak suka, Dhira suka sebenarnya jika menulis diary. Namun, itu waktu dirinya masih SMP. Gadis itu menulis semua yang ia rasakan setiap hari. Ia menuliskannya di lembar-lembar kertas buku diary tanpa takut akan salah.

Biasanya, Dhira akan menulis saat malam hari, setelah belajar atau sebelum tidur. Bahkan hanya Adzra saja yang mengetahui jika adik kesayangannya memiliki buku diary.

I Fancy You DhiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang