27

3 1 0
                                    

Mirza melangkah pelan menuju rumah setelah mengantar Dhira pulang. Baru saja akan masuk ke dalam rumah, Mirza disambut oleh suara keras dari dalam rumah.

"Mirza! Lo bawa motor Gwe tanpa izin lagi?!" suara pamannya menggema di ruang tamu, penuh ketidakpuasan.

"Ah, santai aja, Bang. Lagian Gwe cuma cari angin," jawab Mirza dengan nada santai, berusaha meringankan suasana. Candaan adalah cara terbaiknya untuk menghindari konfrontasi.

Haikal yang biasa dipanggil Abang ikal itu mendengus, tetapi tatapan matanya melunak. "Apa kabar Si Dhira? Dia baik-baik aja?"

Mirza mengangguk. "Baik."

Mendengar itu, Haikal tersenyum dan merangkul pundak Mirza hangat. "Baguslah. Ayo makan. Gwe dapet daging ayam diskonan di pasar tadi."

"Lo suka bagian paha sama hati kan?" Suaranya penuh ceria, mengalirkan semangat kebersamaan di rumah kecil mereka.

"Pastinya," balas Mirza dengan mata berbinar.

Di meja makan, aroma masakan yang sederhana namun menggugah selera memenuhi ruangan. Daging ayam yang dipanggang dengan bumbu sederhana, nasi putih yang pulen, dan sayur bening menghiasi piring mereka.

Mereka makan dengan lahap, sesekali berbincang dengan akrab, saling berbagi cerita tentang kegiatan sehari-hari. Tawa dan canda mengisi suasana, menciptakan kehangatan yang membuat Mirza merasa nyaman.

Setelah selesai makan malam, Haikal berdiri dan menuju ke rak kayu tua di sudut ruangan ketika Mirza mulai membereskan piring-piring bekas mereka makan malam. Ia mengambil sebuah amplop kuning yang sudah agak usang.

"Ini, buat Lo" katanya sambil menyerahkan amplop itu. "Dari ibu Lo."

Mirza terpaku menghentikan aktivitasnya, ia memandangi amplop kuning itu dengan rasa penasaran. Warnanya yang pudar dan kerutan di sudutnya menunjukkan bahwa amplop ini sudah cukup lama. Dia merasakan jantungnya berdegup kencang. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia menerima surat dari ibunya, yang kini entah di mana. Jarinya meraba amplop itu dengan hati-hati.

"Dari ibu?" tanya Mirza, suaranya bergetar.

Haikal mengangguk, senyumnya tak lepas. "Iya. Dia selalu mengirim surat kalau merasa perlu berbagi sesuatu."

Dengan hati-hati, Mirza membuka amplop tersebut. Aroma tinta dan kertas tua menyergapnya, seolah mengantarkan kenangan akan ibunya yang selalu menuliskan pesan-pesan penuh kasih.

Ia mengeluarkan selembar kertas yang sedikit kusut, lalu membacanya dengan penuh perhatian. Berbagai kenangan masa kecilnya kembali bergejolak dalam pikirannya. Bayangan ibunya yang lembut dan ayahnya yang tegas membanjiri ingatan.

Ayah yang selalu membenci ibunya karena pernikahan mereka dijodohkan. Mirza teringat betapa seringnya ayahnya meluapkan kemarahan, sedangkan ibunya hanya bisa menahan sabar, berusaha merawat keluarga yang kian retak.

"Anakku tercinta, Mirza..."

Setiap huruf terasa hidup, seperti mendengar suara lembut ibunya yang memanggil namanya. Dalam surat itu, ibunya menceritakan tentang kesehariannya, mengingatkan Mirza untuk selalu menjaga semangat belajar, dan berbagi harapan-harapan yang ia impikan untuk masa depan putranya. Ada cerita tentang masa-masa sulit, tetapi juga tentang kebahagiaan kecil yang mereka syukuri meski dalam keadaan terbatas.

Di bagian akhir surat, ibunya menulis:

"Jangan pernah ragu untuk mengejar mimpi-mimpimu. Aku selalu ada di sini, mendukungmu."

Mata Mirza mulai berkaca-kaca, merasakan haru dan semangat yang membara. Dia menatap Haikal, yang juga memandangnya dengan penuh pengertian. Di dalam hati Mirza, seolah ada energi baru yang mengalir-mendorongnya untuk melangkah maju.

"Makasih banyak, Bang," kata Mirza, suara pelan namun tegas. "Gwe akan berusaha sekuat mungkin."

"Belajar sana, Gwe mau nonton film india di TV," usir Haikal bermaksud menghibur Mirza.

"Emang jam segini masih ada film india?" Haikal melirik jam di dapur yang sudah menunjukkan pukul 18.45 WIB.

"Masih dong. Kek Lo nggak tau aja."

Tak membalas lagi, Mirza membiarkan Haikal sendirian di depan televisi setelah membereskan meja makan. Tak lupa ia juga membawa surat itu bersamanya ke kamar untuk di simpan dengan surat-surat lain dari ibunya.

.....

Hiruk pikuk memenuhi rumah Dhira tak kala Fahmi, kakak iparnya datang untuk menjemput Mika pulang. Laki-laki itu telah selesai dengan pekerjaannya di luar kota dan langsung pulang menemui putra kecilnya. Ia sangat merindukannya.

Namun, bukannya senang karena Sang ayah telah kembali. Mika justru menangis hingga wajahnya memerah karena menolak di ajak pulang. Anak itu sudah nyaman di rumah Dhira.

Bagaimana tidak nyaman? Di sini Mika benar-benar hidup layaknya seorang anak kecil yang bahagia. Bermain bersama teman tanpa perduli orang tuanya lengkap atau tidak.

"Mika, kamu bisa main ke sini lagi," ucap Anna menatap lembut bocah laki-laki di dalam gendongan Fahmi.

Mika menggeleng, "Nggak mau, Mika mau di sini selamanya."

Anna tak menyerah begitu saja. Lain halnya dengan Fahmi. Laki-laki itu sadar jika selama ini Mika kesepian karena ia sibuk bekerja.

"Mika terlihat lebih senang di sini. Apa boleh Mika di sini lebih lama, Bu?" tanya Fahmi.

"Tentu boleh." Mika bersorak kegirangan. Fahmi ikut senang melihatnya putranya bergembira.

"Ayah, ayo main masak-masakan," ajak Mika.

Fahmi menurut. Menurunkan Mika dari gendongannya, Fahmi lantas di seret ke tempat Mika bermain. Halaman belakang rumah. Mereka duduk beralaskan tikar di bawah pohon mangga yang rindang.

"Ayah mau makan apa? Biar Mika buatin," tanya Mika dengan spatula di tangan kanannya.

"Mika maunya makan apa?" Fahmi bertanya balik.

"Mika mau donat kentang, Ayah mau juga?" Balas Mika.

Fahmi mengiyakannya. "Oke, donat kentang siap dalam 10 menit," tegas bocah itu kemudian mulai beradu dengan mainan alat-alat masaknya.

Sementara Fahmi terkekeh kecil melihat antusiasme putranya. Ia merasa Mika semakin bertumbuh besar dan semakin lancar dalam berbicara.

Udah nggak cadel lagi, ya
Batinnya.

"Donatnya udah siap," seru Anna muncul dari dalam rumah dengan beberapa donat di piring yang ia bawa.

Mika bersorak karena makanan yang ia inginkan sudah tiba. Anna mendekati mereka lalu meletakkan piring berisi donat di atas tikar. Wanita itu kemudian pamit untuk mengambil minuman yang tertinggal. Namun, Fahmi menawarkan diri untuk mengambilkannya.

"Tidak, biar ibu saja. Mika pasti ingin menghabiskan banyak waktu denganmu." Anna menolak dengan halus.

Mau tak mau, Fahmi hanya menurut. Sambil menunggu Anna kembali, Fahmi mengajukan beberapa pertanyaan sederhana pada Mika. Ia ingin mengetahui hal apa saja yang sudah Mika lakukan di sini.

"Mika main masak-masakan sama kak Dhira, terus main ke taman, di sana Mika jajan churros. Churrosnya dicelup di coklat cair sama di taburi bubuk kacang. Enak rasanya," ucap Mika sambil mengaduk angin di wajan mainannya menggunakan spatula.

"Ada lagi?" tanya Fahmi penasaran.

"Mika ikut nenek ke pasar. Terus Mika di ajak main sama kakak serem di pasar." Fahmi mengerutkan keningnya.

"Kakak serem?" Mika mengangguk. Seakan paham dengan raut wajah ayahnya yang keheranan, bocah itu menjelaskan bahwa kakak seram yang ia maksud bukanlah orang yang jahat. Justru kakak itu orang yang baik, asik, dan menyenangkan. Iya meskipun tampilannya seperti preman.

.....

I Fancy You DhiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang