28

0 0 0
                                    

Bel istirahat berbunyi, Azka dan Dhira berlomba-lomba dengan murid-murid lain untuk mendapatkan tempat duduk di kantin. Mereka seakan-akan lupa berapa jumlah murid di sekolah ini.
Meski begitu, mereka berhasil mendapatkan bangku di paling belakang.

Begitu sudah duduk dengan nyaman, Dhira langsung mengeluarkan bekalnya. Iya, dia hanya menemani Azka makan di sini. Azka memaklumi itu, Dhira memang lebih suka masakan ibunya sejak ia mengenalnya.

"Yakin nggak mau nitip apa-apa?" Dhira menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Oke, fine. Gwe jajan dulu ya," pamit Azka. "Jagain bangku Gwe," teriaknya mulai menjauh.

Dhira mengiyakannya dalam hati sembari membuka bekalnya.  Jam pelajaran matematika hari ini benar-benar menguras habis sarapannya. Jadi, untuk makan siang hari ini Dhira meminta pada ibunya untuk menambah porsinya.

"Kecil-kecil makannya banyak juga Lo," ledek Mirza. Laki-laki itu tengah duduk di bangku milik Azka. Ia tak tahu dampaknya akan seperti apa. Dhira tak perduli dengan ledekan,  yang penting saat ini adalah perutnya.

Tak berselang lama, ponselnya bergetar. Menandakan adanya chat masuk. Sembari mengunyah makanan di mulutnya, tangan kiri Dhira yang bebas mengambil ponsel dari saku kemeja seragamnya.

Di layar lockscreennya, terlihat Azka mengirim pesan kepadanya untuk membantunya membawa makanan. Dhira menghela napas panjang karena aktivitas makannya terjeda.

Dari awal Dhira sudah menebak, bahwa Azka akan memborong semua makanan yang tampak enak di matanya. Dengan terpaksa, gadis itu segera menyusul ke tempat Azka berada, meninggalkan Mirza sendirian di bangkunya.

.....

Hari ini, kantin sekolah terasa lebih ramai dari biasanya. Siswa-siswi berlalu-lalang membawa nampan berisi makanan dan minuman. Di antara kerumunan itu, ada Dhira dan Azka yang sedang berjalan menuju mejanya. Dengan langkah agak terburu-buru, mereka membawa masing-masing satu nampan  berisi makanan yang beragam.

Namun, sialnya, langkah Dhira tersandung oleh kaki siswa lain di tengah kerumunan. Tubuhnya oleng ke depan dan untuk menjaga keseimbangan, secara refleks ia meraih baju seragam yang kebetulan berada di dekatnya.

Dengan tarikan yang cukup kuat, kemeja putih robek tepat di bagian perut, memperlihatkan otot perutnya yang terbentuk sempurna. Seketika, kantin menjadi hening sejenak sebelum pecah dalam sorakan dan bisikan kagum. Wajah Dhira memerah padam. Ia merasa sangat malu dan ingin sekali menghilang dari tempatnya.

Melihat Dhira terjatuh di belakangnya, sontak membuat Azka segera memberikan nampannya kepada siswa secara random dan segera menghampiri Dhira.

"Dhira Lo nggak papa?" Cemas Azka. Gadis itu membantu Dhira yang terduduk di lantai untuk berdiri perlahan-lahan.

Mirza yang awalnya terkejut, kemudian tertawa kecil. "Wah, Lo kenapa sih, ceroboh banget!" ujarnya sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Untung atasan Gwe yang robek."

Teman-teman sekelas mereka langsung menyerbu dengan berbagai komentar. "Wah, sixpack!" seru salah seorang teman perempuan.

"Pantes aja banyak yang naksir," sahut yang lain.

Dhira semakin merasa malu. Apalagi kini semua perhatian terpaku padanya dan Mirza. Ia ingin sekali meminta maaf, tapi kata-kata seolah macet di tenggorokannya. Ia hanya bisa menunduk dan berharap kejadian ini cepat berlalu.

Mirza yang melihat ekspresi malu gadis itu merasa sedikit iba. Ia menghampirinya  dan membisikkan, "Nggak perlu terlalu dipikirin, ya. Ini cuma kecelakaan kecil kok."

Meski begitu, Dhira masih tidak bisa tenang. Ia jadi menyalahkan dirinya. Seandainya ia berjalan lebih hati-hati pasti kejadian ini tidak ada terjadi. Begitu pikirnya.

.....

"Lo beneran nggak papa?" Dhira mengangguk. Sudah berkali-kali Azka menanyakan hal itu. Beruntunglah mereka berbeda kelas. Bayangkan selama jam pelajaran Azka menanyainya hal yang sama terus menerus.

"Pulang sekolah nanti, mau mampir ke toko buku nggak?" tanya Azka.

"Nggak dulu. Aku mau langsung pulang aja. Udah capek," balas Dhira.

Wajah Azka berubah cemberut, "Yaudah, mau titip sesuatu nggak?," tawarnya.

"Terserah kamu, iya nggak papa, nggak juga nggak papa," ucap Dhira.

"Oke, kalau gitu Gwe balik ke kelas ya," pamit Azka. Dhira tersenyum mengangguk.

Mereka berdua berpisah, Azka berbelok ke kanan sementara Dhira ke Kiri. Sedih juga rasanya harus berpisah. Tapi mau bagaimana lagi, jam istirahat akan berakhir dalam waktu 15 menit lagi.

Dhira melangkah dengan santai, tetapi kepalanya berisik. Masih berputar peristiwa saat di kantin. Bukan tentang sixpack, tapi pikiran orang-orang tentangnya setelah kejadian itu. Dhira masih malu rasanya. Hingga tak sadar Pandu berjalan beriringan dengannya.

Sementara dari arah belakang, Mirza dengan atasan hoodie hitam dengan jahil meraih lengan Dhira dan menariknya pelan hingga memeluk pinggang Pandu yang berada di sebelahnya.

Mereka berdua membeku, sementara Mirza terkekeh geli lalu berjalan santai sambil melompat-lompat kecil bak anak kecil melewati dua orang itu tanpa menoleh. Seakan-akan lupa apa yang baru saja ia perbuat.

Pandu dan Dhira saling berkontak mata, tanpa memperdulikan kepergian Mirza. Pandu, laki-laki itu bingung harus merespon bagaimana. Sama halnya Dhira.

Akhirnya, Dhira sadar dan menjauh beberapa langkah dari laki-laki itu. Melepaskan pelukannya dari pinggang Pandu.

"Ma-maaf," gugupnya sambil menundukkan kepalanya hingga wajahnya tertutupi oleh helaian rambutnya.

"Nggak papa, itu ulah kak Mirza kok," ucap Pandu.

Aku suka
Batinnya

SIALAN! KUMAT LAGI!
batinnya berteriak.

.....

Pandu berlari sekuat tenaga menuju kamar mandi terdekat, hatinya berdegup kencang. Dalam kepanikan, ia meninggalkan Dhira seorang diri di koridor, tubuhnya terasa panas, wajah dan telinganya memerah hanya memikirkan gadis itu.

Sungguh, ia ingin memeluk Dhira saat itu juga, merasakan kehangatan tubuhnya lagi. Pikirannya mulai berimajinasi yang tidak-tidak. Namun, kesadarannya menahan hasrat itu. Ia tahu, hal tersebut hanya akan membuatnya dibenci, dan ia tak ingin merusak hubungan yang telah terjalin.

Sesampainya di depan wastafel, Pandu membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap bisa menetralkan perasaannya. Ia merasakan air mengalir deras di wajahnya, menciptakan sensasi menyegarkan namun juga menyakitkan. Menatap pantulan dirinya di cermin, ia melihat wajahnya yang masih memerah, meski sedikit mereda.

Apa yang terjadi?
Batinnya bertanya.

Pikirannya melayang kepada Dhira yang tidak sengaja memeluknya dari samping membuatnya terbakar. Namun, ia tahu bahwa menjaga jarak adalah yang terbaik untuk Dhira. Rasa ini terlalu kuat, dan ia takut akan merusak segalanya.

Tiba-tiba, suara pekikan nyaring mengalihkan perhatiannya. Pandu menoleh ke arah pintu masuk, dan melihat seorang siswi terkejut berdiri di ambang pintu, matanya membelalak lebar melihatnya. Dalam sekejap, ia menyadari kesalahannya. ia telah masuk ke kamar mandi perempuan.

Rasa malu menyergapnya. Pandu segera berbalik, wajahnya terbakar lebih merah daripada sebelumnya. Dengan langkah cepat, ia mencoba melarikan diri dari situasi canggung itu, menyadari betapa konyolnya tindakan yang baru saja ia lakukan.

Saat ia melangkah keluar, pikirannya hanya tertuju pada Dhira, berharap dia tidak melihatnya dalam keadaan memalukan ini.

I Fancy You DhiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang