14

51.4K 5K 241
                                    

Dokter Matt kini menatap ke arah Zidane dengan hembusan nafas pelan. Belum juga 3 jam lamanya Zidane berangkat ke sekolah, kepala Zidane kembali terluka. Sebenarnya dia tau jika itu bukanlah luka baru, melainkan hanya diperparah lantaran terkena hantaman bola dari jarak jauh, dan itu tepat sasaran dengan luka yang awal.

Sebenarnya dia sedikit kesal, dia sudah memperingatkan Zidane untuk tidak masuk hari ini karena dikhawatirkan hal seperti ini terjadi. Dan benar saja bukan? Namun, dia masih ingat jika dia merupakan bawahan, dia masih sayang pekerjaan jika harus mengomel di depan tuan muda yang sebelumnya sangat jarang dia temui dulu.

"Saya sudah bilang bukan, tidak usah masuk sekolah, tuan muda. " Dia menekan kata terakhirnya, tentu dengan senyuman terpaksa di wajahnya. "Saya mengkhawatirkan hal ini terjadi sebelumnya. "

Zidane menghela nafas kasar, kepalanya berdenyut nyeri sebenarnya karena hal penyelamatan yang beberapa menit lalu terjadi. "Nggak usah dipaksain senyum Dok, saya awalnya juga nggak mau pulang. Mau ganti perbannya di sekolah aja, kalo bisa. "

"Memangnya anda kuat, tuan muda?"

"Maksud?" Zidane menyipitkan matanya ke arah Dokter yang lebih muda dari usia Anggara sebelumnya. "Kuatlah, kalo saya ngomong gitu berarti emang kuat. Dokter kira pas kena bola saya langsung pingsan apa? Kayang gitu?" Dia menekuk wajahnya kesal.

Dokter Matt menghembuskan nafasnya pelan. "Muka anda pucat, tuan muda. Anda tidak sehat hari ini, makanya saya bertanya demikian, maaf saya tidak bermaksud apa-apa. "

Zidane menghembuskan nafasnya perlahan. "Pulang deh Dok, saya udah baik-baik aja. Mau tidur. " Dia mulai memperbaiki posisi nyamannya untuk berbaring.

"Baiklah tuan muda, selamat beristirahat. Oh ya, jika ada keluhan apapun, tuan muda bisa menghubungi saya nanti, dan-" Dokter Matt tidak melanjutkan ucapannya, melainkan menggelengkan kepalanya perlahan. "Ya, tuan muda langsung menghubungi saya jika dalam beberapa waktu ke depan tuan muda merasa tidak baik, pusing, mual-"

Zidane menatap laki-laki itu penuh harap, yang membuat Dokter Matt menghembuskan nafasnya. "Saya permisi tuan muda. " Dia akhirnya berlalu dari hadapan Zidane, yang kini menghela nafas lega.

"Akhirnya tuh Dokter pergi juga. "

"Nyebelin kata-katanya, mana mukanya keliatan jutek!"

"Zid Zid, dia mah profesional kerja. Kira-kira, tuh Dokter pernah kena amukan Zidane asli apa nggak?"

Dia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari memijat pelipisnya. Dia terdiam sejenak saat mengingat kejadian di sekolah dan berakhir dia di tempat ini, sungguh menjengkelkan.

Eh, itu Zidane?

Astaga, kepalanya berdarah?

Dia nyelamatin si cupu!

Gila, sejak kapan si Zidane punya jiwa penolong?

Yang gue liat bener apa kagak sih?

"Shit. "

"K-kak, kepala Kakak berdarah!"

Zidane menatap ke arah Selly sekilas, dia kemudian berlalu dari hadapannya beberapa langkah. Dia baru saja membuka topinya, dan benar saja saat dia menggunakan tangannya di kepalanya, bercak darah terlihat di telapak tangannya. Dan hal itu tentu membuat Selly panik.

"Kak, tunggu!"

"Jangan teriak elah, " batin Zidane gelisah. Bukan apa-apa, saat ini dia mendadak jadi perhatian orang-orang yang masih berada di sekitar tempatnya saat mendengar gadis itu berbicara. Dia berusaha menghindari gadis itu, namun lebih dulu dia mendahuluinya.

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang