• Kesempurnaan

1K 138 0
                                    

Solar terbiasa dengan kesempurnaan. Mati-matian ini berusaha melekatkan label tersebut pada dirinya. Semua serba sempurna pokoknya. Tidak boleh ada cela dan celah untuk seseorang dapat menjatuhkannya.

Atau mungkin obsesi?

Kakaknya yang berjumlah enam biji sudah angkat tangan semua. Tidak bisa lagi dikategorikan seperti OCD dan kawan-kawan. Ini sih sudah gila kesempurnaan.

Dari ujung rambut sampai ujung jempol kakinya tidak ada kurang tidak juga lebih. Pas. Semua pas. Tepat. Benar-benar tanpa cela dan celah.

"Hoekkk,"

Tapi, hari ini sepertinya pengecualian bagi sang pangeran penyandang kesempurnaan. Ia mabuk. Mabuk berat. Entah ini harus dikategorikan mabuk angin atau mabuk darat.

Taufan di belakangnya hanya tersenyum geli, ingin tertawa tapi tahu diri setelah ini minimal sekali si Gempa akan mengomel pada mereka berdua.

Selain si sulung yang kembar tiga biji, para adik yang berjumlah empat buah ini berangkat ke sekolah diantar Tok Aba dengan mobil sepuhnya itu. Keberangkatan tepat jam tujuh pagi, tidak bisa nego pokoknya. Dan tentu saja, Solar yang sempurna ini adalah penumpang tetap yang biasa stay bahkan sebelum pukul tujuh.

Sekali lagi, mungkin hari ini pengecualian. Solar sedang apes sekali. Dimulai dari urutan mandi dapat paling akhir, lalu dilanjutkan mules yang mendadak menghampiri padahal ia sudah pakai seragam dengan rapi dan wangi.

Tentu sesuai dugaan. Begitu ia keluar dari kamar mandi, rumah sudah sepi dan mobil Tok Aba sudah tidak ada wujudnya. Lemas sekali pokoknya Solar pagi ini. Perut dikuras, keberuntungan juga ikut dikuras.

Solar tidak mungkin nekat berjalan kaki. Ini sudah mepet sekali dengan jam tutup gerbang. Tidak mungkin juga naik kendaraan umum, dia tidak tahu caranya—dan akan sangat memalukan jika orang-orang tahu itu.

Satu-satunya kendaraan yang tersisa adalah motor milik Halilintar dan Gempa. Sebuah motor yang dibelikan ayah mereka sebagai hadiah masuk universitas dambaan keduanya. Tapi, itu jelas bukan pilihan. Karena, baru saja pakai banget, Halilintar dan Gempa terburu-buru melewatinya lalu menarik gas motor sekencang mungkin.

Masa Solar yang sempurna ini harus bolos? Yang benar saja.

"Solar?" Satu suara tiba-tiba terdengar dari balik tubuhnya, "loh, belum berangkat?"

"Tadi aku sakit perut. Selesai berak malah Tok Aba sudah pergi."

"Ayo bareng Kakak saja! Kampus Kakak kan satu arah dengan sekolahmu," tangan si bungsu ditarik ke arah garasi terbuka di samping rumah, "kamu mau yang pegang kemudi si Frengki, atau Kakak bonceng?"

Frengki? Siapa ini Frengki?

"Frengki ya sepeda keren Kakak ini, dong!" Sang kakak menunjuk bangga sebuah sepeda bersih mengkilap warna biru manis dengan keranjang serta tempat membonceng. Tampak manis. Tapi Solar yakin, kalau yang naik kakak-kakaknya, sepeda ini bakal jadi sangar dan keren. Apalagi kalau pengendaranya ugal-ugalan seperti Halilintar atau Blaze.

"Aku bonceng Kak Taufan saja deh," ujar Solar pasrah, "Kakak kan tahu, aku tidak bisa naik sepeda."

"Gas!"

Dan itu adalah awal petaka Solar mabuk gila-gilaan. Sudah dapat dipastikan, jelas sekali dia tidak akan masuk sekolah kalau begini. Taufan juga memutuskan untuk bolos kelas. Tidak mungkin ia meninggalkan adik bungsunya seorang diri setelah membuatnya mabuk tak karuan begini.

Mungkin tidak hanya Gempa yang berceramah. Halilintar bisa saja turun tangan menjitaknya sekuat tenaga.

Rupa Tujuh SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang