Bibir Ice melengkung turun. Mukanya sudah jelas sekali tampak tidak bahagia.
Kakaknya yang nomor tiga itu tega sekali menyeretnya turun dari ranjang. Ini hari Minggu, sudah jelas waktunya Ice menghabiskan tiap hembusan napasnya di atas kasur. Kenapa masih diusik, sih? Dia bahkan sudah mengorbankan sekian menit tiap paginya untuk mengerjakan cuci piring selepas sarapan, loh, apa masih kurang?!
Rasanya, Ice ingin membanting tas belanja anyaman plastik hasil karya tangan dua adiknya itu.
"Ice?" Si sulung muncul dari halaman belakang. Bajunya penuh cipratan lumpur, Ice mengernyit dan bergeser sedikit menjauh. Dia sudah mandi, tolong yang masih kotor jangan mendekat. "Apa sih kamu ini?"
"Kak Hali belum mandi dan aku sudah mandi," iris aquamarine bergerak bagai mesin scanner membuat Halilintar mendesah malas. Ice dan kebiasaan wajahnya yang mudah sekali menilai orang. "Kenapa?"
"Tolong nanti belikan sabun untuk cuci motor. Biar aku cuci sekalian semua kendaraan di rumah. Kotor sekali seminggu kemarin kehujanan terus,"
Ice tidak menjawab. Dia cuma menggeram ogah-ogahan tapi tetap menambahkan request Halilintar pada daftar belanja yang diberikan Gempa subuh tadi.
Belum selesai goresan pena Ice menuliskan pesanan si sulung, dua adiknya berderap heboh menuju arahnya. Sebenarnya, dua bungsu dengan kehebohan mereka adalah hal biasa, tapi kali ini Ice langsung mendelik kesal.
"Kak—"
"JAUH-JAUH! KALIAN BAU TAHI!"
Solar dan Duri menghentikan langkah mereka lalu saling bertatapan bingung. Detik berikutnya mereka tertawa sambil saling menyenggol, membuat Ice semakin kesal saja.
"Tadi pupuk tahi punya Duri meledak berceceran kena kami," jelas Solar tenang. Aneh sekali. Biasanya, anak ini paling anti kalau penampilannya kacau—apalagi ini bau tahi. "Solar salah cara buka bungkusnya,"
Oalah, malah si bontot sendiri penyebab polusi aroma ini.
"Mau apa kalian?" Todong Ice sambil sibuk menutupi hidungnya. Gila, bau banget. Tahu sih, itu tahi kambing kering. Tapi tetap saja. Ice yang sedang emosi kadang hidungnya ikut jadi sensitif.
"Mau tit—"
"JANGAN DEKAT-DEKAT KE SINI, DURI, AAAARRGHH!"
Duri berhenti dan memasang cengiran lebar. Ice yang uring-uringan memang selalu menyenangkan di mata Duri. Kapan lagi kakak yang suka jahil padanya bisa dibalas sampai kapok begini?
"Titip sebungkus saja Kak, pupuk tahi kayak punya Duri," Solar buru-buru menengahi sebelum sang kakak betulan ngamuk besar pada mereka. "Tokonya dekat rumah kita, kok. Belinya waktu pulang saja, kan sejalan."
"IYA IYA, SUDAH SANA PERGI!"
Dua bungsu segera melipir menjauh, meninggalkan Ice yang mengomel seorang diri panjang lebar sambil melanjutkan kembali penambahan daftar belanjanya yang makin banyak saja.
Ini kalau kakak keduanya berani ikut-ikutan, Ice mungkin bakal—
"Ice, aku titip es krim dong," speak of the devil, Taufan betulan muncul dari pintu depan—tentu penuh keringat karena baru selesai membersihkan halaman depan. "Beli sepuluh, nanti untukmu dua,"
Senyum tipis terbit di wajah si anak nomor lima. Murkanya sejak tadi langsung menguap. Begini, dong. Dari tadi saudara-saudaranya cuma titip saja, tidak ada yang kasih 'uang ongkos'.
Kalau pemintanya murah hati begini kan Ice jadi senang juga menuruti requestnya.
"Siap, Kak Taufan. Nanti aku belikan dua puluh."
"Oke—HAH, KENAPA BANYAK SEKALI?!"
Terlambat.
Ice sudah melenggang bahagia, keluar dari rumah dengan senyum lebar dan bayangan mandi es krim dibayari Taufan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rupa Tujuh Semesta
Fiksi PenggemarKarena hari-hari Solar yang normal tidak pernah terlihat biasa saja akibat ulah ajaib kakaknya yang berjumlah enam biji Dan tentu saja, polah ajaib dirinya sendiri