Waktu itu Halilintar masih kecil, tapi tidak kecil banget, tidak besar juga. Masih umur anak-anak labil, pokoknya. Sedang jenuh-jenuhnya punya banyak adik yang berisik. Dia memutuskan untuk keluar dari rumah tanpa pamit pada siapapun—sebut saja ‘kabur’. Tidak tahu mau kemana atau mau bertemu siapa, dalam pikiran Halilintar, yang penting dia keluar dulu dari rumah.
Begitu kakinya menjejak di luar rumah, dia menghirup banyak-banyak udara, seolah telah lama hidup tanpa menghirup udara. Segar sekali buatnya. Pikirannya tidak lagi suntuk dengan keberisikan adik-adiknya.
Tidak akan pergi jauh, janjinya dalam hati. Mungkin cuma akan memutari komplek rumah beberapakali lalu akan kembali pulang sebelum senja turun.
“Tumben Halilintar sendirian, mana anak-anak itikmu?”
Halilintar menoleh pada pelaku celetukan tersebut. Didapatinya Fang tersenyum lebar sambil jongkok mengelus seekor kucing hitam. Ia buru-buru menghampiri sang kawan dan mengindahkan sindiran jenakanya tadi, “ih, lucu. Kucing punya Fang?”
Fang menggeleng, “bukan. Aku saja baru menemukan dia di sini,” tangan kecilnya mengelus kepala hitam yang mendengkur halus. Gemas. Fang mencubit pipi kecil si kucing.
“Bawa pulang, Fang, kasihan dia sendirian,” bujuk Halilintar. Dia sendiri tidak berani ambil resiko membawa si kucing pulang. Adik-adiknya masih kecil dan belum bisa diatur. Salah-salah malah si kucing akan tersiksa di tangan adiknya.
“Eh, tidak bisa. Aku bawa belanjaan—”
“Aku saja yang bawa! Fang gendong kucingnya.” Halilintar kecil buru-buru mengangkat kantong plastik besar-besar milik Fang lalu berjalan mendahului ke rumah sang kawan. Sudah berasa seperti rumah dia sendiri. Ia bahkan dengan santai menunggu Fang di teras rumahnya sambil bersenandung senang.
Yang memungut kucing siapa, yang senang juga siapa. Agak lucu memang si kecil Halilintar ini.
“Memelihara kucing?” Kaizo, kakak dari Fang, mengernyit tajam saat adiknya dan Halilintar berbarengan berkata ingin merawat si kucing hitam. “Kamu ingat kan, si Supri—hamster hitammu itu saja kabur loh dari kamu. Tidak betah dia. Yakin mau pelihara kucing?”
Halilintar menatap Fang penuh keyakinan, yang disambut sebagai sinyal untuk mengangguk oleh Fang. Keduanya mengangguk-angguk yakin. Mata mereka berbinar memohon.
Kaizo angkat tangan, menyerah. Ia memperbolehkan sang adik untuk merawat si kucing hitam—dengan bantuan Halilintar juga. Yang penting betul-betul dirawat dan tidak lalai. Sekali Kaizo mendapati kelalaian, si kucing hitam akan dilepaskan keluar. Dan sekali lagi, Fang dan Halilintar mengangguk dengan sangat yakin.
Senang sekali mereka sore ini bisa dapat kucing peliharaan baru. Halilintar yang cuma numpang merawat pun ikut senang sekali.
“Fang, kalau nanti beranak, aku kabarin, ya!”
“Memangnya si kucing cewek?”
“Memang kalau cowok tidak bisa beranak, ya?”
“Ih Halilintar bodoh banget. Pantas kau diikuti adik-adikmu kayak anak-anak itik.”
“Kami bukan itik!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Rupa Tujuh Semesta
Hayran KurguKarena hari-hari Solar yang normal tidak pernah terlihat biasa saja akibat ulah ajaib kakaknya yang berjumlah enam biji Dan tentu saja, polah ajaib dirinya sendiri