Halilintar dan Taufan basah kuyup sekujur badan. Dari puncak kepala sampai ujung jempol kaki tidak ada yang kering. Belum lagi baju mereka yang ternoda cokelat lumpur sisa hasil mereka berguling heboh.
Si sulung dan si anak nomor dua saling melontarkan gerutuan, panjang dan pendek. Tidak ada yang mau mengalah. Terlebih lagi Taufan yang disalahkan seorang diri oleh Halilintar.
"Kamu kan membonceng," si sulung menyeka air lumpur yang nyaris menetes menuruni kelopak matanya, "tinggal ikuti saja intruksi Google Maps apa susahnya?!"
Punggung si sulung ditabok kencang. "Kau bilang begitu, memang tadi kamu saat kubonceng bisa baca petanya?!"
Halilintar tidak menjawab, tapi bibirnya terus bergerak-gerak menggerutu pelan—sengaja biar tidak terdengar jelas oleh Taufan.
Taufan bersungut-sungut.
Bisa-bisanya si kembaran menyalahkan dia. Sebelumnya yang bikin mereka terperosok masuk ke dalam kebun antah berantah ini kan kemampuan baca peta Halilintar yang super buruk, kalau sekarang mereka jadi makin tersesat karena Taufan buta peta, kan bukan salah dia seorang?
Enak saja si sulung ini cuma menyalahkan dia.
"Gempa sudah kamu shareloc?"
"Sudah," roda belakang diangkat sedikit oleh Taufan karena barusan terjebak jalan berlubang dan menyangkut tidak mau berputar, "tapi ya tidak tahu, kapan Gempa bakal jemput. Ponselku mati karena kita jatuh tergelincir tadi."
Halilintar menghela napas panjang. Rasanya dia sudah tidak punya kekuatan lebih buat menyumpahi keadaan mereka yang apes ini. "Kita meneduh dulu di sana, Fan. Semoga Gempa masih bisa cari kita."
Si anak nomor dua mengangguk patuh. Ia kembali mendorong pelan bagian belakang sepeda, menyokong seretan Halilintar terhadap kendaraan mereka satu-satunya yang sudah berlumur lumpur tak jauh kotor dari mereka.
"Nanti kalau Gempa tidak bisa temukan kita bagaimana?"
"Aishh, bicara apa sih kamu ini, Fan. Kita masih sekitar rumah ini, cuma emang tersesat saja di daerah yang jarang kita sambangi,"
"Jadi, masih bisa pulang?"
"... nggak tahu, ya? Aku juga ragu, Fan,"
Taufan mengulum senyum miris.
Di dalam hati, si anak nomor dua telah mencatat tebal-tebal, jangan sampai dia dan Halilintar yang buta peta ini pergi hanya berdua—lagi—saja. Jangan sampai!
Apalagi kalau cuma bawa satu ponsel.
Ugh, tidak mau pokoknya Taufan merasakan begini lagi bersama si sulung satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rupa Tujuh Semesta
FanfictionKarena hari-hari Solar yang normal tidak pernah terlihat biasa saja akibat ulah ajaib kakaknya yang berjumlah enam biji Dan tentu saja, polah ajaib dirinya sendiri