Blaze biasanya tidak pernah dipasrahi mengurus adik-adiknya seorang diri. Lebih sering tidak becusnya ketimbang hal-hal berjalan baik. Namun kali ini, Blaze dipaksa harus betulan lancar mengurus adiknya.
“Cuma Ice dan Solar, loh,” Gempa melotot kesal pada Blaze yang masih saja menolak. Bodo amat. Gempa akan tetap pergi, masa bodoh dengan Blaze yang mengamuk kesal. “Satu hari saja. Habis itu Kakak akan bolak-balik rumah sakit dan rumah buat bantu, jadi kau bisa lebih lega.”
Okelah, Blaze pasrah saja kalau Gempa sudah memelas begini. Kalau dia masih banyak protes, bisa-bisa yang maju bukan lagi Gempa, tapi bogem Halilintar yang mengerikan itu.
Dan dimulailah hari pertama Blaze kecil mengurus dua adiknya yang sama kecil dengannya.
Blaze sih tidak ada masalah dengan Ice, kecuali kebiasaan tidurnya yang buruk itu. Tidak betah Blaze bersabar menunggu adiknya bangun malas-malasan. Itu bisa diakali. Blaze bisa langsung mengguyur Ice dengan segelas air dan Ice tidak akan marah padanya. Memang sudah kesepakatan di antara mereka berdua.
Tapi, untuk masalah Solar—
—Blaze agak bingung.
Adik bungsunya ini memang jarang sekali bicara dengannya kecuali memang ada perlu—yang mana itu juga kesempatan yang sangat jarang tibanya. Kalaupun bicara biasa, adiknya yang masih TK itu lebih sering berbicara dengan kata-kata tajam padanya. Cukup kaget Blaze. Pasalnya, dari mana anak sekecil itu tahu banyak kosakata tajam seperti itu? Duri yang kakak kembarnya saja lebih sering berujar halus dan sopan.
“Solar menangis lagi,”
Blaze menoleh pada Ice yang berbisik di balik punggungnya. Mereka berdua sama-sama berdiri memperhatikan si bungsu yang masih duduk di sofa ruang tengah sambil sesenggukan. Beberapa menit yang lalu sudah berhasil ditenangkan Gempa sebelum pergi, tapi sekarang menangis lagi.
“Aduh,” Blaze mencengkeram lengan Ice, panik karena tahu ia tidak akan bisa menghentikan tangisan Solar. “Tok Aba sama kakak-kakak juga pasti masih lama pulangnya.”
Ice mengedikkan bahunya, sama bingung dengan sang kakak. Ia sendiri jarang bersinggungan dengan Solar yang sensitif begini, karena ini momen-momen yang sangat jarang terjadi. Biasanya juga kalau terjadi momen Solar sensitif begini, Tok Aba dan para kakak sulung yang turun tangan.
Blaze, Ice, dan Duri disingkirkan sementara, soalnya cuma bikin keadaan makin runyam saja.
“Solar masih sedih?” Ice memberanikan diri mendekati si bungsu. Ia duduk di samping Solar, tidak terlalu dekat, tapi cukup memberi jarak kalau-kalau si bungsu mendadak tantrum dan berusaha memukulnya. “Mau bicara dengan Kak Ice atau kak Blaze tidak?”
Solar tidak menjawab tapi tangisnya justru makin terdengar. Ia ambruk memeluk Ice yang di dekatnya, menyembunyikan wajah menangisnya di perut sang kakak.
Tadinya Blaze pikir, Tok Aba dan para kakaknya berlebihan. Duri kan cuma mau dirawat inap, tidak perlulah bawa pasukan sebegitu banyak sampai mengorbankan Blaze dan Ice yang bengong-bengong ini untuk mengurus Solar berduaan saja. Mereka pikir Solar mudah diurusnya?
°
“Duri sedang sakit,” Halilintar memijat pelipisnya yang dadakan pening karena diprotes Blaze, “kau tahu sendiri betapa rewelnya Duri kalau sedang sakit. Aku, Taufan, dan Gempa juga tidak tega kalau minta Tok Aba seorang diri yang mengurus Duri—”
KAMU SEDANG MEMBACA
Rupa Tujuh Semesta
Fiksi PenggemarKarena hari-hari Solar yang normal tidak pernah terlihat biasa saja akibat ulah ajaib kakaknya yang berjumlah enam biji Dan tentu saja, polah ajaib dirinya sendiri