Duri hobi sekali mengoleksi bermacam-macam plester. Ada yang gambar hewan gemuk-gemuk, ada yang gambar kucing muka konyol, ada gambar bunga, ada pula motif abstrak seperti bintang dan lingkaran bubble, sampai penampakan pantat-pantat kartun juga ada. Warnanya juga cerah ceria warna-warni. Kalau Solar boleh menyebutkan, dari warna gelap sampai gradasi warna terang pun tersedia.
Semua plester menggemaskan itu disimpan Duri dalam sebuah kotak kayu kecil dari jati hadiah tukar kado ulang tahunnya yang kelima dengan adik kembarnya, Solar. Di dalam kotak kecil itu juga terdapat gunting yang tajam untuk memotong plester atau perban serta obat merah.
Gempa pernah heran dengan isi kotak kesayangan Duri tersebut. Buat apa salah satu adik bungsunya ini menyediakan banyak sekali plester serta pernak-pernik pertolongan pertama pada luka kecil dalam kotak yang biasa dibawanya kemana-mana?
"Duri ceroboh, Solar juga ceroboh," atensi Duri sama sekali tidak beralih pada sang penanya dan tetap asyik menyusun serta merapikan isi kotak kecilnya yang sedikit berantakan, "Duri harus jaga-jaga kalau salah satu dari kami ada yang terluka."
"Boleh sih kalau mau jaga-jaga, tapi itu jumlahnya terlalu banyak, Duri,"
Kepala Duri menggeleng jenaka seiring telunjuknya yang ikut bergerak-gerak lucu. "Ini jaga-jaga juga, siapa tahu kakak-kakak sekalian ada yang kejedot hiasan topeng jelek kak Hali di pintu depan rumah? Kita semua tidak ada yang tahu, kapan dan siapa yang akan terluka."
Gempa akhirnya memutuskan untuk tutup mulut dan membiarkan saja Duri melakukan apa yang dia mau—mengoleksi series plester.
Karena, benar kata Duri. Ada saja dari mereka bertujuh yang terluka. Gempa yang tidak sengaja mengiris jarinya saat memasak, Taufan yang menyenggol loyang panas, Blaze yang jatuh saat main sepak bola, Ice yang menggelinding dari ranjangnya, bahkan sampai Gentar sang sepupu yang terkena paper cut. Pokoknya, ada saja kejadian yang mengharuskan Duri mengeluarkan persediaan plesternya dengan muka bangga.
"Hah, anak laki-laki itu nggak butuh plester warna-warni seperti itu," celetuk Halilintar di suatu saat ketika Duri sedang melapisi luka Solar karena gelas bunga matahari kesayangan keduanya pecah tersenggol si bontot. Duri tidak ambil pusing dengan ucapan si sulung. Toh, Halilintar bukan orang pertama yang mengatakan hal itu. Malah biasanya orang-orang yang habis mengatakan hal tersebut justru yang butuh plesternya lebih banyak.
"Dasar anak baru puber. Suka sok keren saja kamu," tukas Taufan. Bibirnya mencibir pada si sulung yang mendelik tidak terima. "Lagian, plester punya Duri lucu-lucu. Aku kalau luka pasti suka saja pakai plester punya Duri. Gemes, sih."
Iris merah Halilintar berputar jengah.
Memangnya, apa yang salah dari berusaha tampil keren? Si kembar tiga ini kan sudah masuk sekolah menengah pertama, tidak masalah dong kalau bersikap keren dan dewasa?
Dan salah satu sikap keren dan dewasa di mata si sulung adalah; tidak pakai plester warna-warni gambar pantat kartun.
"Awas saja nanti kamu kalau kejedot hiasan topeng jelekmu di pintu depan trus menangis minta plester punya Duri," kali ini Taufan mengancam sambil menggunakan telunjuknya untik menunjuk-nunjuk Halilintar sebal, "mau aku gatekeep plester Duri biar jidat lebarmu itu berdarah-darah kayak hantu di sumur sekolah!"
"Silahkan," Halilintar mendengus pongah menyebalkan, "Halilintar yang keren ini nggak akan menangis apalagi sampai pakai plester warna-warni begitu!"
Namun yang namanya kecelakaan, kadang ketika diharapkan tidak terjadi, justru yang terburuk malah dikabulkan semesta.
Bibir Halilintar tampak keriting karena usahanya menahan tangis. Taufan sudah sibuk tertawa berguling-guling di lantai melihat keadaan si sulung.
Mereka sedang bermain kejar-tangkap beberapa saat lalu. Kebetulan setelah Blaze yang jadi pengejar, Halilintar kebagian jatah pengejar karena terlambat melarikan diri dari kejaran adiknya. Si sulung yang sedang dalam masa usilnya itu kemudian menjatuhkan pilihannya pada Duri yang sempat terbengong melihat betapa cepatnya Blaze mengalahkan si sulung. Tentu karena Duri tidak siap, ia jadi berlari sempoyongan sekuat tenaga berusaha menghindari Halilintar yang memang jago berlari. Masuklah si hijau lucu itu ke dalam rumah, tak lupa salah satu tangannya menarik gagang pintu dan membanting daun pintu cukup keras agar tertutup.
"Maaf, Kak Hali," Duri kini ikut menangis di samping Halilintar yang masih berusaha keras menahan air matanya, "kalau tadi Duri tidak banting pintunya, pasti Kakak juga tidak akan kejedot hiasan jelek itu."
Ugh, ingatkan Halilintar besok untuk mencongkel hiasan topeng jelek miliknya yang sudah menjatuhkan beberapa korban itu.
"Duri, besok lagi jangan main pintu begitu ya kalau sedang bermain," Gempa memperingatkan Duri sambil tangannya tetap cekatan membersihkan luka pada jidat si sulung, "bukan hanya orang lain yang bisa terluka, Duri sendiri juga bisa luka nanti."
Duri mengangguk-angguk seperti boneka kucing pajangan di toko. Lucu. Apalagi dengan bibir yang cemberut karena merasa bersalah pada si sulung.
"Kak Hali, ini sepertinya tidak sobek, deh. Jadi tidak perlu dijahit di rumah sakit," Halilintar menarik napas lega mendengar ucapan Gempa. Jujur, dia sudah overthinking berat, takut kalau harus dibius lalu jidatnya dijahit seperti Gempa menjahit boneka Ice yang sobek. Itu seram.
"Trus kenapa?"
"Darahnya tidak mau berhenti, Kak. Mungkin cukup dalam lukanya, mengingat tadi Kakak kena tanduk topengnya," tangan Gempa terus menyeka pelan-pelan darah yang masih keluar. Tidak banyak, tapi kalau dibiarkan juga bikin gatal ingin menyeka terus. "Perban kita habis, ini harus disumpal, sih."
"PAKAI PLESTER PUNYA DURI!"
Halilintar meneguk ludah kasar. Mampus dia. Dari tadi hatinya sudah berulang kali merapal, "jangan pakai plester Duri, jangan pakai plester Duri, jangan pakai plester Duri," seperti mantra agar ia tidak perlu melihat kota kecil dari jati milik Duri itu.
Malu dong. Baru saja ia mencemooh hobi Duri yang unik itu, sekarang dia kena getah dan mau tidak mau akan berterimakasih pada hobi unik sang adik karena telah menyelamatkan jidat lebarnya yang berdarah.
"Please, gambarnya yang normal saja, Gem," ujar Halilintar sambil menundukkan kepalanya. Alibinya sih biar Gempa gampang memasangkan plester itu. Padahal semua saudaranya tahu, Halilintar sedang malu bukan main sampai telinganya sama merah dengan iris matanya.
"Ih, ini normal semua, Kak," Duri mengeluarkan koleksi plesternya lalu menjejerkan semuanya di depan si sulung, "ada yang pantat, ada kucing jelek, ada bunga, ada pita, ada—"
"Yang gambar random abstrak kayak bintang mana, deh? Kemarin kan ada?"
Duri kecil berusaha menahan bibirnya untuk tidak menyeringai usil melihat wajah nelangsa si sulung. "Habis, Kak. Kemarin diminta Sori semua buat Supra. Anak itu habis nyusruk ke semak-semak kebun samping masjid."
Maka, pasrahlah Halilintar hari itu membiarkan jidatnya ditembel dengan plester gambar kucing jelek. Keki sekali Halilintar melihat motif ini. Rasanya, dia seperti diejek muka jelek si kucing dalam plester, "haha, Halilintar yang keren pakai plester di jidat."
Hari ayo cepatlah berlalu, biar Halilintar bisa segera melepas plester memalukan ini dari jidatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rupa Tujuh Semesta
FanfictionKarena hari-hari Solar yang normal tidak pernah terlihat biasa saja akibat ulah ajaib kakaknya yang berjumlah enam biji Dan tentu saja, polah ajaib dirinya sendiri