• Kado dari Gempa

969 132 4
                                    

Gempa duduk dengan manis dan tenang menunggu pesanannya diambilkan oleh pelayan toko. Wajahnya tampak sumringah dan sama sekali senyumnya tidak luntur. Meskipun agak sedikit meleset, dia senang sekali akhirnya bisa membelikan kado untuk dua adik bungsunya yang sedang ulang tahun.

Sebenarnya, sudah jadi kebiasaan Gempa sejak dulu untuk memberikan kado ulang tahun pada siapapun saudaranya yang tengah bertambah usia. Halilintar dan Taufan pun tidak ketinggalan menjadi salah satu penerima kado tahunan darinya.

Sayangnya, beberapa bulan terakhir ini uang saku pribadinya ikut terkuras habis. Selain karena kebutuhan tugas kuliah yang makin memerasnya, akhir-akhir ini enam saudaranya sedang senang sekali ikut memerasnya. Ada saja menu makan dengan harga suka tidak nalar yang mereka usulkan. Gempa tentu menolak jika harus menggunakan jatah uang makan bulanan mereka begitu saja, ia juga meminta saudara-saudaranya ikut urunan tambah biaya dari uang saku pribadi. Tapi sepertinya itu saja tidak cukup. Sebagai hasilnya, uang saku pribadi Gempa pun ikut tersedot.

Untung sekali Gempa yang baik hati ini cerdas. Dengan sisa uang yang jumlahnya nanggung—tidak banyak, tidak juga sedikit—ia memutuskan untuk membuat risol mayo tiap harinya dan dititipkan di kantin fakultas. Minimal dia sekarang bisa menyambung hidup kebutuhan pribadinya—dan sedikit berfoya-foya tanpa sepengetahuan enam saudaranya.

Namun tentu saja, orang cerdas tidak selamanya selamat. Solar saja beberapakali sering kena remidi, apalagi kalau pelajaran-pelajaran sosial. Gempa pun demikian. Ia sedikit miskalkulasi. Sehingga uang yang terkumpul masih kurang sedikit lagi untuk dapat membelikan dua bungsunya kado. Ia pun memutuskan untuk memberikan kado Duri terlebih dahulu tanpa sepengetahuan Solar—karena dia bisa mutung kalau tahu fakta ini. Ini dengan pertimbangan, karena kado Solar jauh lebih mahal dan dia masih butuh satu hari lagi untuk berjualan risol mayo agar bisa melunasi pembayarannya.

Memangnya apa kado untuk Solar?

Dua buah kacamata. Baru. Keren. Mengkilap. Dengan frame kuat dan tahan banting. Kalau diduduki, bokongmu lah yang akan terluka.

Gempa bisa saja memilih kado lain, andaikan hari itu Blaze lebih hati-hati dalam memilih tempat duduk, atau Solar lebih teliti meletakkan kacamatanya. Sehingga insiden kacamata miring dan pertikaian Solar vs Blaze juga tidak perlu terjadi. Tentu Gempa sudah memalak adiknya yang satu itu, tapi apa yang bisa diharapkan dari Blaze yang uang jajannya habis digunakan untuk beli jajan aneh dengan Ice.

Selama ini Gempa selalu percaya, niat baik pasti akan menemukan jalannya. Sama dengan niat baiknya untuk meredam tawanya serta dua kakaknya acap kali melihat Solar yang biasa tampil sempurna, sekarang terlihat lucu karena kacamatanya miring dan wajahnya bersungut-sungut.

Dan di sinilah Gempa beserta dua kacamata baru untuk adik bungsunya.

"Solar?"

Si bungsu melongokkan kepala dari dapur—tentu dengan kacamata miring yang bertengger di hidungnya, "yaa, Kak Gempa?"

"Sedang apa kau di dapur basah-basahan begitu?" Tanya Gempa sembari menghampiri adiknya di dapur.

Tumben sekali si bungsu mau repot basah-basahan di dapur begini.

"Sepertinya hari ini semua orang sepakat lupa mencuci piring. Jadi, aku yang baik hati ini mengulurkan tangan pada tumpukan cucian piring ini."

Gempa tertawa pelan melihat respon si bungsu yang sesuai dugaannya.

“Ada apa, Kak?” Solar mengeringkan tangannya dengan lap yang tergantung, lalu menghadap pada sang kakak serius mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh kakaknya, “tumben sekali mencari Solar. Ada hal yang penting?”

Ah, iya. Gempa terbiasa selalu bisa menemukan keberadaan Solar dari sudut matanya. Jadi, jika memang ada perlu sesuatu, Gempa akan selalu langsung menghampirinya tanpa perlu memanggilnya atau mencarinya.

“Ini,” Gempa menyodorkan dua kotak kacamata dari dalam tasnya, “selamat ulang tahun, Solar. Maaf Kakak baru bisa memberi Solar kado sore ini. Semoga Solar—”

“DUA KACAMATA?! KAKAK SERIUS?!” Solar melotot tidak percaya—tapi jadi lucu karena kacamata miringnya. Tangannya gemetar menerima dua kotak kacamata dari uluran Gempa. “Ini mahal banget, Kak. Kakak bilang sama ayah dan ibu, ya? Aduh, Solar jadi tidak enak.”

“Tidak, itu uang Kakak sendiri.”

“SOLAR MAKIN TIDAK ENAK, KAK!”

“Itu ada uang ganti rugi Blaze juga, kok.”

“Oh, oke. Solar terima, deh.”

Gempa tertawa. Kadang adiknya yang paling rasional dan menjagokan akal serta logika ini, bisa jadi orang paling tidak rasional dan ekspresif di rumah mereka. Lucu sekali adik bungsunya ini.

“Kakak beli dua, biar Solar ada cadangan. Itu semua warna kesukaan Solar, loh, silver dan gold. Kalau tidak mau untuk cadangan, Solar bisa pakai satu-satu. Satu untuk dipakai di rumah, satu lagi untuk dipakai di sekolah. Jadi, bisa awet dan berguna semua.”

Dan selanjutnya, Solar segera menubruk Gempa dan memeluknya erat, “terima kasih banyak, Kak Gempa. Solar sayang banget, pokoknya, walaupun jadi bingung mau pakai yang mana dulu.”

Sembari mengusak pelan rambut si bungsu, Gempa kembali tertawa, “coba tanya pendapat kak Hali. Biasanya, kak Hali kan paling jago kalau memutuskan sesuatu.”

Seperti mendapat ilham, Solar melepaskan pelukannya lalu berlari entah kemana sambil berteriak-teriak berisik memanggil si sulung.

“KAK HALIII, AYO BANTU SOLAR PILIH KACAMATA!”

Rupa Tujuh SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang