"Solar kok tidak lucu, ya?"
Celetukan Halilintar barusan berhasil membuat Solar dan Taufan yang beraktivitas di dekatnya langsung menoleh. Si pelaku sendiri tampak tidak terlalu memperdulikan hasil ucapannya, mata dan tangannya masih sibuk mengisi jawaban pada buku latihan soal.
"Apa nih maksudnya?" Tanya Solar sedikit tidak terima. Lagipula, Halilintar yang biasanya tidak ambil pusing dengan penampilan Solar, ini kok mendadak mempertanyakan hal seperti itu.
"Ya begitu," buku latihan soal diletakkan. Halilintar kini menatap dua adiknya dengan tatapan yang absurd. Terkesan konyol. "Tidak lucu. Coba lihat sepupu kita, Gentar dan Sopan. Mereka lucu, kan?"
Kali ini, Taufan pun ikut mengerutkan dahinya. Si sulung kerasukan apa ini?
"Tunggu dulu, tunggu dulu," buru-buru Taufan menengahi, sebelum Solar menimpali sewot atau Halilintar makin ngelantur. Ia melayangkan tatapan bingung yang serius mewakili kebingungannya dan Solar di hari itu. "'Lucu' ini maksudnya apa, deh? Kalau perilaku, ya jelas tidak relevan, dong. Solar sudah masuk sekolah menengah pertama, sama seperti Supra, Sori, dan Duri. Kau pikir, Supra itu lucu, hah?"
Halilintar langsung menggeleng cepat. Orang gila mana yang menganggap makhluk berwujud Supra itu lucu?!
Solar menatap Taufan sembari memijit pelipisnya pelan. 'Gila sepertinya kak Halilintar ini', lalu Solar dan Taufan sepakat dengan kalimat tersebut hanya bermodalkan gerakan tangan satu sama lain.
"Trus maksudmu apa tadi?"
"Ya maksudku seperti Sopan begitu," jelas Halilintar lirih. Jemarinya saling bersentuhan, dimainkan malu-malu. "Manis, lucu, trus suka cium kakak-kakaknya."
"LAH—"
"Kak Hali mau Solar cium?" Todong Solar cepat, memotong Taufan yang mau memprotes si sulung sekali lagi. "Kalau mau ya bilang saja, sih."
"Betul!" Si anak nomor dua mengangguk mantap mengiyakan perkataan adik bungsunya. "Solar meskipun menyebalkan begitu suka peluk-peluk kita, kok."
Pokoknya, Taufan akan pasang badan demi si bungsu. Enak saja si Halilintar bilang Solar tidak lucu. Dia saja yang tidak tahu kalau Solar selucu itu.
Adik bungsu mereka mungkin tidak seekspresif Sopan dalam memperlihatkan perasaan sayangnya. Tapi, anak itu betulan lucu. Suka dipuji, meskipun saat dipuji akan merona hebat, itu lucu kan? Kalau diminta bantuan akan serius membantu sampai jidatnya berkerut, ini lucu kan? Atau waktu diminta Gempa menemani belanja dia akan mengekori meskipun nanti malah lupa semua list belanjaan, yang ini juga lucu kan?
Solar itu lucu. Halilintar saja yang agak buta memang.
Taufan mendengus sebal. Ya pantas saja Halilintar tidak tahu sisi Solar yang begitu. Si sulung ini baru menangkap eksistensi Solar via ekor mata saja langsung melipir menjauh. Solar berisik, dalihnya.
"Ya sudah, sini," Solar membentangkan tangannya dengan senyum percaya diri, bersiap menerima pelukan. "Kalau sebegitunya ingin Solar cium, sini. Biar Solar sedot sekalian ubun-ubun Kak Hali."
Halilintar meskipun bergidik dan merasakan tengkuknya merinding, tetap mendekat pada Solar. Memeluk ragu-ragu tubuh kecil si bungsu. "Peluk saja. Tidak usah cium."
"Oh. Oke." Solar bergerak sedikit, menyamankan dirinya dalam pelukan yang ia tawarkan pada Halilintar. Dua tangannya ia tempatkan di punggung lebar si sulung lalu menepuk-nepuk lembut. Karena Solar belum banyak bertumbuh, ia cuma bisa meletakkan dengan nyaman kepalanya di dada sang kakak.
Nyaman, buat Solar. Sudah lama dia tidak memeluk Halilintar dengan benar begini. Kalaupun dia memeluk si sulung, biasanya mereka sedang bermain tangkap lari dengan saudara-saudara mereka yang lain. Maka, itu tidak akan dihitung sebuah pelukan yang proper bagi Solar.
"Solar,"
"Ya?"
"Sudah cukup."
Taufan tergelak. Tawanya membahana mengisi rumah yang cuma diisi mereka bertiga saja. Air mata sampai berani menumpuk di ujung-ujung matanya saking hebohnya dia tertawa.
Solar hanya menyengir maklum. Ia melepas pelukan dan menarik dirinya. Aslinya ingin menjahili Halilintar lebih jauh, tapi kakaknya itu sudah berdiri menegang kaku begitu, mana tega Solar lanjut.
"Memang aku yang tidak bisa," si sulung berjongkok dan menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya. Sepasang telinganya tampak memerah hebat. Pasti sedang sangat malu si sulung ini. "Aku yang salah, maaf. Solar lucu, kok. Memang aku yang salah, maaf ya."
Taufan menepuk pundak Halilintar. Berusaha menyalurkan semangat pada sang kembaran—meskipun tawanya tetap tidak berhenti. "Besok lagi, jangan bilang Solar tidak lucu, ya. Kan kalau begini, kamu sendiri yang malu tidak karuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rupa Tujuh Semesta
FanfictionKarena hari-hari Solar yang normal tidak pernah terlihat biasa saja akibat ulah ajaib kakaknya yang berjumlah enam biji Dan tentu saja, polah ajaib dirinya sendiri