• Celana

543 94 4
                                    

Frostfire menatap heran pada dua adiknya yang baru saja pulang. Kebetulan hari ini kelasnya dipulangkan lebih awal, jadi dia bisa berleha-leha sambil menyambut tiap adiknya yang balik dari sekolah.

Hanya saja, melihat Supra yang tertawa terbahak-bahak dan Sopan yang memasang wajah masam sama sekali tidak pernah terbersit dalam benak si sulung. Rasanya, seperti ada yang salah saja dengan penempatan ekspresi keduanya. Agak tidak cocok.

"Assalamualaikum, Sopan pulang."

Tuh, ketus sekali tumben si bungsu. Nada bicaranya sama sekali tidak terdengar ramah seperti biasa.

"Yaa, waalaikumsalam," pandangan si sulung kini jatuh pada pakaian Sopan. Sejak kapan pula anak satu ini suka mengikatkan jaket di pinggangnya? Perasaan, ini style Gentar dan Supra. "Itu—kamu kok pakai jaket Supra?"

Sopan yang sejak awal moodnya acak-acakan, kini ganti menatap jutek pada si sulung. Agaknya, anak ini tidak paham sama apa yang dimaksudkan Frostfire.

"Yang di pinggangmu," telunjuk Frostfire bergerak menuding pada jaket yang masih terikat rapi dan kencang di pinggang si bungsu, "itu jaket Supra, kan? Mas ingat kamu nggak punya jaket merah-putih-kuning-hitam ngejreng kayak begitu."

Sayangnya, bukan jawaban yang didapat Frostfire, melainkan decakan tidak sopan dari pemilik nama 'Sopan'—yang langsung melenggang pergi menuju kamarnya tanpa berbicara apapun.

Tentu si sulung raut wajahnya mendadak mengeras. Ia bertanya baik-baik, tapi respon si bungsu benar-benar tidak sopan. Luntur sudah senyuman ramahnya. Mungkin Sopan perlu—

"Assalamualaikum, aku pulang."

Kali ini si anak nomor tiga yang masuk. Ia sedikit lebih lambat masuk ke dalam rumah ketimbang Sopan karena harus memarkirkan sepedanya terlebih dahulu di garasi. Lalai sedikit tidak dikuncinya, bisa-bisa besok dia pergi ke sekolah naik mobil jemputan sang kakek bersama sepupu-sepupunya.

"Waalaikumsalam," Supra langsung menengok pada Frostfire yang menjawab salamnya super pendek. Tidak lazim. Soalnya, si sulung terbiasa bersuara berisik setiap ada saudaranya yang pulang. "Adikmu kenapa?"

"Siapa? Sopan?"

"Iya lah. Kan kamu pulang cuma bareng dia, kan? Tumben,"

Supra diam sejenak, kemudian mengangguk setelahnya. Otaknya sedikit lebih lama memproses ucapan Frostfire—mungkin karena tertawa terlalu banyak tadi. "Sori pulang terlambat. Gentar ikut mas Glacier belanja. Ya sudah, aku bawa saja si Sopan pulang. Kasihan, dia tadi bengong sendirian di titik penjemputan, kayak anak kucing nunggu dijemput ibunya. Mas Frost harus lihat mukanya, sih."

Si anak nomor tiga segera mengeluarkan ponselnya. Beberapakali ibu jarinya menggeser layar dengan cepat, tampak sangat gembira dengan apapun yang ingin ia tunjukkan.

"Nah, lihat ini, Mas!"

Frostfire memicingkan matanya, berusaha memahami jepretan yang ditunjukkan Supra. Terlihat dalam layar ponsel si anak tengah, sebuah foto amatir yang dapat diduga kalau pengambilannya secara diam-diam. Tidak buram, tapi tidak juga benar-benar high quality. Cukup lah kalau cuma untuk menunjukkan sesuatu.

Di sana tampak Sopan yang duduk seorang diri. Wajahnya tampak mengantuk dan bosan. Tasnya dipangku dan dipeluk, dijadikan sandaran jika kepalanya tiba-tiba menunduk tertidur.

Betul kata Supra, persis seperti anak kucing yang bosan menunggu ibunya tak kunjung datang.

"Lah, ini dia lucu," dua remaja itu saling bertatapan, mengabaikan sejenak ponsel yang masih menyala dengan sosok Sopan di dalamnya, "tadi kok pulang uring-uringan?"

Supra kembali terkikik, meskipun tangannya berusaha menutupi cengirannya yang lebar.

"Celananya sobek,"

"HAH?!"

Akhirnya, si anak nomor tiga mulai menceritakan asal-muasal kenapa si bungsu bisa bersungut-sungut saat sampai di rumah.

Kisahnya dimulai sejak Supra yang menawarkan boncengan pulang. Karena sudah lama menunggu, Sopan memutuskan untuk ikut saja pulang dengan si anak nomor tiga. Dia sudah mengantuk berat. Tidak akan sanggup kalau disuruh menunggu lebih lama lagi.

"Tapi, sepeda Mas tidak ada boncengannya seperti punya Gentar," Supra melirik pada bagian belakang sepedanya, "adanya pijakan di samping gear roda. Kamu tahan tidak kalau berdiri lima menit? Mas bisa cuma bisa ngebut segitu. Tadi habis keseleo, soalnya."

Yah, daripada menunggu jemputan tanpa kepastian, memang lebih baik pasrah mengangguk mengiyakan tawaran Supra. Lagipula, apa susahnya berdiri lima menit?

Kenyamanannya untuk sampai rumah lebih cepat dipertaruhkan oleh lima menit berdiri ini, dan Sopan tidak keberatan.

Malangnya, dugaan buruk yang sempat mampir di pikiran Supra betulan terjadi.

"Sopan mengantuk," Supra menarik napas dalam-dalam demi menahan tawanya yang kembali tidak terkontrol, "dia tidak sadar kalau kakinya sudah sedikit menekuk. Nggak berdiri tegak lagi."

"Jadi maksudmu, celananya tergerus ban sepedamu karena dia agak menekuk kaki?"

Si anak nomor tiga mengangguk susah payah. Ia sudah tidak bisa menahan tawanya. Terdengar membahana dan menyebalkan sekali di telinga si bungsu yang masih ngambek di kamarnya.

Frostfire memijit keningnya pelan. Sedikit bingung mau bereaksi apa. Di satu sisi ini cukup menggelikan, di sisi lain sudah membuat si bungsu bad mood sekali sepertinya.

"Akhirnya, kami menepi di tengah perjalanan," sambung Supra. Tangannya menyeka sisa-sisa air mata di pelupuknya. "Aku sendiri kaget waktu dia bilang merasa sejuk-sejuk di pahanya. Tadi malah sempat kukira celananya melorot atau apa. Dan yah, ternyata waktu kita cek, celananya sudah lubang cukup besar, terutama arah belakang."

"Makanya, kamu kasih jaketmu itu? Buat menutupi celana Sopan yang bolong?"

Supra mengangguk cepat, terlihat bangga seolah habis menyelamatkan seisi dunia.

Si sulung menggelengkan kepalanya, cukup pusing. Kalau begini, ia harus bilang pada Glacier nanti untuk menjahit celana Sopan—itu pun kalau bisa diselamatkan. Jika ada kemungkinan tidak bisa diselamatkan karena lubangnya aneh, sepertinya Sopan terpaksa tidak usah masuk besok. Biar Frostfire belikan dulu bahan kainnya di toko akademi mereka.

Ada-ada saja kelakuan adik-adiknya ini.

Rupa Tujuh SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang