Sopan suka sekali makan es lilin, spesifiknya es lilin yang dijual Pak Cik Kumar. Sudah murah, enak, dekat pula tokonya dari rumah. Soalnya, kalau mau es krim bermerek seperti yang biasa dibeli teman-temannya, Sopan minimal harus meminta Sori atau Supra untuk memboncengkannya dengan sepeda dan membawanya ke supermarket dekat jalan besar. Itu jauh sekali.
Makanya, Sopan cinta sekali dengan es lilin.
Pernah suatu kali Pak Cik Kumar tidak buka toko sampai beberapa hari. Ternyata, Gopal anak Pak Cik Kumar itu sedang rawat inap di rumah sakit. Tipes, katanya. Sopan mau tidak mau harus mengurungkan niat jajan es lilinnya selama beberapa hari itu.
Maka, terpujilah hati Glacier dan Frostfire yang bagai malaikat. Mereka berdua dengan senang hati menuntun si bungsu membuat es lilinnya sendiri. Diberitahunya dengan sabar, kalau es lilin itu es yang paling mudah dan ramah untuk dibuat semua kalangan. Mau diisi apa saja juga tetap enak.
"Diisi susu yang biasa Sopan minum, enak?"
"Enak, dong!" Frostfire mengacungkan jempolnya dengan wajah sangat yakin, menerbitkan raut berbinar senang dari si bungsu.
Sejak hari itu, Sopan rajin sekali membuat berbungkus-bungkus es lilin. Bermacam isinya. Kadang susu cokelat, kadang es teh, kadang juga sirup dengan buah nangka, kadang jus, pokoknya tiap hari berubah-ubah isinya. Malam dibuatnya, siang setelah sekolah usai sudah bisa dilahapnya. Tidak perlu lagi takut kalau uang jajannya kurang. Yang ini kan gratis!
Tidak cuma dimakan sendirian, ia juga sering sekali berbagi pada lima kakaknya. Terserah mau ambil berapa, yang penting selalu sisakan Sopan minimal dua biji. Kakak-kakaknya juga senang dengan ini. Karena mereka turut menikmati es lilin segar milik si bungsu, mereka pun sepakat bergantian menemani dan membantu Sopan saat membuat es lilin di malam hari.
"Terimakasih, Sopan. Besok ayo bikin yang isi susu dengan potongan stroberi. Kata teman Mas, isi begitu enak banget!" Sori ambil masing-masing satu biji di tiap tangannya. Ia mencium pipi gembil sang adik yang tengah tersenyum senang melihat ia juga senang. Adiknya ini mudah sekali bahagia. "Aku ambil satu lagi ya buat Gentar!"
Satu ciuman di pipi Sopan untuk satu es lilin, itu harga yang diterapkan Sopan setelah berbunga-bunga dihujani ciuman gemas oleh Frostfire.
"Tidak mau." Tukas Supra cepat. Ia merogoh sesuatu dari saku celananya lalu menyodorkannya pada si bungsu. "Aku beri permen karamel buatanku, tapi aku tidak cium. Impas, kan? Aku dapat es lilin, kamu dapat permen karamelku."
Sopan menggeleng teguh—meskipun permen yang disodorkan Supra tetap diambilnya.
Memang oportunis bocah baru masuk bangku sekolah dasar ini.
Supra melengos pergi, tidak peduli pada Sopan yang memekik marah karena tidak dapat ciuman di pipi. Toh, Sopan sudah mengambil permennya, berarti kan lunas. Tapi si bungsu menolak berpikir begitu. Itu kan harganya, kalau tidak 'dibayar', berarti mencuri. Permen karamel itu transaksi yang berbeda lagi.
Dan hari berikutnya, Sopan menangis kesal di depan pintu freezer terbuka yang tampak kosong melompong. Glacier agak sedikit panik, sebab si bungsu tak kunjung berhenti menangis dan menjelaskan masalahnya.
"Sopan kan sudah bilang, bolehh makan es lilin punya Sopan, tapi jangan betul-betul dihabiskan. Ini kenapa habiiiss?"
Frostfire melongokkan kepala dan betulan mendapati freezer mereka tak berisi, padahal biasanya es lilin warna warni Sopan menghiasi bagian kulkas tersebut.
Dua sulung kembar tersebut menggeleng, jelas bukan mereka pelakunya karena mereka berdua saja baru pulang sekolah ketika Sopan menangis meraung begitu. Bukan Gentar juga, anak itu sejak pulang sekolah sudah izin untuk pergi ke perpustakaan bersama Sori.
"Kenapa lagi si Bontot ini?" Supra datang melewati tiga saudaranya dengan santai. Di tangan kanannya terdapat dua bungkus plastik familiar yang langsung tertangkap mata berkaca-kaca Sopan.
"ITU ES LILIN SOPAN!"
Supra melirik pada plastik dalam genggamannya, "oh, iya memang. Aku ambil dua, haus sekali. Pas banget masih ada dua." Senyum Supra merekah tanpa dosa. "Enak sekali yang ini. Nanti bikin lagi yang seperti ini, Sopan."
Tanpa aba-aba yang direncanakan, Frostfire dan Glacier menubruk tubuh Supra lalu memegangi erat-erat si anak nomor tiga. Supra yang terkejut akibat pergerakannya dikunci dadakan oleh dua kakaknya yang bertubuh besar, langsung meronta-ronta bagai cacing kepanasan.
Sedangkan Sopan—
—anak itu bangkit dari duduknya. Tangannya mengusap kasar bekas-bekas air mata di pipi gembilnya. Ia menyedot keras sisa ingus yang masih menyumbat di indera penciumannya. Matanya yang cantik menatap sengit sang kakak nomor tiga.
"Diam di situ, Mas Supra," telunjuk pendeknya menuding tidak sopan pada Supra yang masih berteriak-teriak histeris dalam pegangan dua kakak kembarnya. "Semua yang makan es lilin punya Sopan, harus bayar, titik. Mas Supra ini, sudah tidak mau menyisakan, bayar juga tidak mau."
"Eh, aku bayar, loh!" Supra masih meronta-ronta ribut, kali ini nadanya meninggi tidak terima dituduh begitu oleh si bungsu. Matanya melotot-melotot menunjuk dua bungkusan kecil di atas meja makan. "Tuh, Mas sudah taruh dua permen karamel punya Mas di atas meja makan. Kan kita sudah deal?"
"Bayarnya tuh cium pipi Sopan," si bungsu mendengus, ia menunjuk kedua pipinya sewot. Kaki-kaki kecilnya menghentak lantai. Tampak kesal sekali sampai ke ubun-ubun. "Ngeyel sekali Mas Supra ini sudah dikasih tahu berkali-kali. Cium pipi Sopan, iiihhh!"
"Aku sudah bilang tidak mau! Lagian, permen karamelku lebih enak ketimbang cuma kubayar pake cium."
"Ya sudah kalau begitu," Sopan mulai melangkah mendekati si anak nomor tiga yang masih dipegangi bagai hewan liar lepas dari kandang. Panik, soalnya Sopan menyeringai seram. "Pegangi mas Supra kencang-kencang, Mas!"
Frostfire dan Glacier mengangguk dan menjawab serempak dengan senyum lebar tersungging, "siap!" Sudah pasti keduanya menantikan Supra kena getah hasil perbuatannya pada Sopan.
"Biar Sopan cium mas Supra sampai mampus. Rasain, tuh!"
Maka hari itu ditandai si kembar sulung sebagai hari pertama Supra menangis karena dikerjai Sopan. Wajahnya basah total hasil jejak-jejak ciuman basah Sopan. Pelakunya tampak puas. Sedangkan Supra, tangisnya serius terlihat trauma, sampai Sori bingung, kenapa kakak yang sekamar dengannya ini akan memekik histeris di tengah tangisannya acap kali si bungsu terlihat—meskipun cuma tampak di ujung mata.
Sayangnya, Supra sering sekali lupa dengan kejadian hari itu. Ada saja hal yang ia lakukan tanpa sengaja, ternyata memantik Sopan untuk mengejarnya dan menghujaninya dengan ciuman signature miliknya itu.
Hari apes tidak kenal tanggal di kalender milik si anak tengah satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rupa Tujuh Semesta
FanfictionKarena hari-hari Solar yang normal tidak pernah terlihat biasa saja akibat ulah ajaib kakaknya yang berjumlah enam biji Dan tentu saja, polah ajaib dirinya sendiri