• Gejolak

517 98 12
                                    

Halilintar dan Solar pernah mengalami masa terburuk hubungan mereka. Bukan Solar penyulutnya, anak ini mana sadar sebelumnya kalau dia tengah dijauhi si sulung. Memang benar kalau alasan gerutuan si sulung adalah Solar, tapi tentu kesalahan terbanyak ada pada Halilintar yang seenak jidat menghakimi si bungsu.

Solar itu anaknya mudah sekali penasaran, sama seperti Duri—sang kembaran. Semua kakaknya memahami dan memaklumi, toh, ini memang masanya mereka suka bertanya banyak hal. Dan yang mereka tanyakan juga tidak jauh dari materi yang telah diajarkan guru mereka di sekolah, otomatis kakak-kakak mereka juga paham, dong.

"Kak Hali, bisa bantu Solar menjelaskan siklus air, tidak?"

"Kenapa minta tolong aku?"

Si bungsu bingung. Kalau ditanya Halilintar seperti itu, memangnya jawaban apa yang kiranya pantas ia sodorkan pada si sulung. Kan, ini hal yang lumrah, adik bertanya pada kakaknya, apanya yang dipertanyakan si sulung?

"Soalnya, cuma Kak Hali yang di rumah sama Solar hari ini? Tentu saja Solar cuma bisa tanya pada Kak Hali,"

"Tunggu saja Taufan pulang. Nanti kamu tanya sana sama kak Taufan-mu itu."

Solar bingung bukan main.

Ini kenapa kakaknya tiba-tiba uring-uringan cuma karena ia minta bantuan mengenai salah satu soal pekerjaan rumahnya? Kalau tidak berkenan membantu bilang saja baik-baik, Solar sudah cukup besar untuk mengerti penolakan, tahu!

Namun, Solar tidak ingin memperpanjang masalah tersebut. Bagi dia, ya sudah kalau tidak mau. Kakaknya tidak cuma satu, dia masih punya tempat bertanya lainnya. Yah, ruginya cuma ia tidak bisa menyelesaikan tugasnya lebih cepat saja. Tidak apa-apa deh, daripada kena sembur si sulung lagi.

Dan kalau si bungsu pikir anehnya Halilintar berhenti saat itu, salah besar dia. Hari-hari selanjutnya si sulung terus saja berperilaku aneh, sampai-sampai bukan hanya Solar saja yang mengernyit, adik-adiknya yang lain juga tidak mengerti kenapa si sulung sensitif sekali jika menyangkut interaksinya dengan si bungsu.

Sayangnya, tidak ada seorangpun yang memberanikan diri untuk jadi samsak Halilintar dan mengetahui apa alasannya melakukan hal tersebut pada si bungsu.

Sampai suatu hari, Taufan datang padanya dengan wajah datar. Hal yang paling tidak mungkin terjadi di dunia. Biasanya, si anak nomor dua lebih sering pasang wajah menyenangkan serta tawa jenaka yang tidak pernah luput dari kesehariannya. Tiba-tiba didatangi Taufan dengan wajah datar juga pandangan menusuk, Halilintar berdiri dari duduknya  dan berhadapan dengan sang kembaran dengan tegang.

Ini kali pertama Halilintar mengalami krisis menegangkan dengan salah satu kembarannya.

"Solar sakit dan dia mau ketemu kamu," Taufan berujar datar. Nadanya terasa asing. Netra sewarna langit miliknya turut memperburuk atmosfer di antara mereka berdua—menatap lurus-lurus si sulung, seolah mengoyak isi hati terdalam yang selama ini ditutupi mati-matian olehnya. "Lebih baik kamu nggak berkata yang buruk pada dia saat ini, atau aku benar-benar tidak segan memukulmu."

Halilintar meneguk ludah kasar. Ia yakin, siapapun kalau diultimatum oleh Taufan yang begini pasti lebih memilih untuk menunduk, bersujud, lalu mematuhi tuntutan si anak nomor dua itu. Serius, Halilintar bisa merasakan bulu kuduknya meremang sekujur badan.

Tidak nyaman.

Tanpa terpikirkan untuk menjawab ucapan Taufan, Halilintar segera bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar si bungsu yang ada di lantai atas. Ia bahkan sudah tidak lagi peduli kakinya berkali-kali terantuk anak tangga hingga berdenyut menjengkelkan.

Pokoknya, Halilintar harus segera sampai di kamar si bungsu sebelum Taufan makin berang dan menonjoknya tanpa mau tahu apa alasan si sulung.

"—ak Hali benci Solar, ya? Memangnya Solar salah apa, Kak?"

Rupa Tujuh SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang