• Overwhelmed

545 100 7
                                    

Bagi Solar, Halilintar itu kokoh. Bahunya tegap dan punggungnya tidak goyah oleh apapun. Kalau boleh menilai blak-blakan, karang di laut mungkin kalah keras oleh kokohnya Halilintar. Si sulung benar-benar berdiri tegak tidak dapat digoncang apapun.

Bahkan, ketika Gempa harus menginap di rumah sakit karena terlibat kecelakaan, Halilintar terus kokoh dan berhasil membuat adik-adiknya tetap 'berjalan' seperti hari biasanya.

Halilintar sekokoh itu untuk adik-adiknya, meskipun ia bukan orang yang diberi amanat untuk memimpin mereka, tapi Halilintar tetap berdiri kokoh. Jauh lebih kokoh daripada Gempa.

Kadang Solar bertanya-tanya, kakak sulungnya ini manusia atau bukan. Makin lama terasa tidak tergapai saja. Namun, Duri buru-buru memukul punggungnya pelan, biar Solar tidak keterusan berpikir yang tidak-tidak tentang Halilintar.

"Jangan begitu, itu nggak sopan. Lebih baik kita selalu berdoa biar kak Hali bisa terus kuat buat kita dan dia sendiri.".

Tidak bisa. Rasanya, asing buat Solar kalau menerima mentah-mentah ucapan Duri tersebut. Ia bakal tetap mempertanyakan kewarasan Halilintar yang bagai tidak menapak di bumi itu.

Orang disfungsional mana yang bisa tetap waras ketika melihat belahan jiwanya bersimbah darah di depannya sendiri?

Jika itu terjadi pada Duri, dan Solar menyaksikan hal tersebut secara langsung menggunakan dua iris keperakannya, mungkin Solar bisa gila dan tidak akan kembali seperti sedia kala.

Halilintar yang hari itu tetap berdiri kokoh justru membuat Solar bergidik ngeri.

Apa si sulung tidak punya titik terendahnya?

"Anak kecil kenapa belum tidur?"

Solar tersentak dari lamunannya. Dua gelas susu di tangannya nyaris saja merosot jatuh kalau ia tidak cepat-cepat mengeratkan kembali pegangannya.

Hampir saja ia melupakan tujuannya membawa dua gelas susu ini.

"Buat Kak Hali satu," salah satu gelas disodorkan pada Halilintar, sedangkan Solar duduk manis di sebelahnya, mengabaikan tatapan protes si sulung yang merasa me time-nya diganggu. "Kalau malam-malam susah tidur, katanya, minum yang hangat bakal bikin cepat ngantuk."

Halilintar berdeham pelan, berusaha menjernihkan suaranya yang terdengar serak, "kamu juga cepat tidur, Solar,"

Susu disesap pelan, Solar lalu menggeleng. Bibirnya menyungging percaya diri. Pokoknya, hari ini Halilintar tidak akan mendorongnya menjauh. Kalau didorong, nanti Solar akan memaksa dan meronta-ronta berisik jika memang diperlukan.

Mari hancurkan dinding kokoh Halilintar itu!

"Selama Kak Hali masih bersikeras menangis sendirian di ruang tengah yang gelap begini, Solar nggak akan tidur, sih."

Senyum Solar makin terkembang ketika ia mendengar sebuah dengusan kesal dari sosok di sampingnya. Kakak sulungnya itu pasti sebal bukan main padanya.

"Bukan masalah berat," Halilintar mengusap jejak-jejak air mata yang sebenarnya sudah tidak lagi mengaliri pipinya. Refleks saja. Merasa canggung tiba-tiba bicara serius dengan si bungsu. "Aku cuma—aku cuma merasa, akhir-akhir ini semua terasa berlebihan buat aku."

Konon katanya, semakin terang warna iris seseorang, akan semakin mudah buat dia melihat dalam kegelapan—kalaupun ini hanya sebuah mitos, Solar tetap akan mengamini paling kencang. Iris keperakan miliknya entah kenapa secara ajaib mampu melihat tubuh Halilintar yang tampak sedikit bergetar. Mungkin si sulung sudah berusaha sekuat mungkin menahan getaran pada dirinya, tapi yang namanya perasaan kalut, mungkin lebih baik kalau Halilintar mencurahkan semuanya ketimbang menahannya begini.

"Kak Hali boleh capek, kok," Solar meletakkan gelasnya perlahan. Sangat pelan sampai tidak terdengar suara 'ting' yang biasa muncul akibat benturan gelas dengan permukaan meja. "Semua orang boleh capek. Kalau memang capek, istirahat. Tidak semua hal harus diselesaikan Kakak dalam satu hari. Kak Hali juga tidak harus terus berlari, kalau mau mengesot juga diperbolehkan. Capek loh, lari terus, tuh."

Halilintar mendengus pelan, kali ini merasa geli dengan ucapan si bungsu. Memang Solar tidak jago merangkai kata seperti Taufan atau yang lain, tapi anak ini berhasil memberitahu Halilintar secara terang-terangan apa yang harusnya dia lakukan. Yah, meskipun kata-katanya memang agak aneh.

"Teman-temanku juga cerita, kakak mereka yang masih dalam fase skripsi seperti Kakak juga sering mengalami down begini, dan itu wajar—kurang lebih begitu kata mereka," si bungsu memainkan jemarinya. Agak sedikit kesusahan menyusun apa yang mau ia ucapkan, walaupun dalam kepalanya semua tersusun sangat rapi. "Kata mereka, orang-orang dalam fase itu butuh ditemani. Tidak bisa membantu itu tidak apa-apa, yang penting mereka tahu, kalau mereka tidak sendirian."

Halilintar menolehkan kepalanya. Kali ini ia berniat mencurahkan semua atensinya untuk mendengarkan apa yang akan si bungsu katakan. Seberantakan apapun, Halilintar yang kakaknya ini pasti bisa mengerti maksudnya. Toh, ia bukan baru sehari dua hari jadi kakak buat Solar.

"Kalau Kak Hali memang merasa berat menanggung semuanya sendiri, tolong cerita," kali ini jemari Solar membuka enam lalu ditunjukkan pada Halilintar—si sulung jadi sedikit bernostalgia pada hari adik bungsunya baru belajar berhitung dulu. "Kalau—kalau memang aku nggak bisa diandalkan, Kak Hali masih punya adik lima lagi. Kakak bisa cerita sama mereka. Kakak nggak sendiri."

Tangan si sulung terjulur, mengelus pelan puncak kepala si bungsu. Rasanya, sudah lama sekali ia tidak mengelus Solar lembut begini. Terakhir kali ia melakukan itu, kepala Solar masih bisa ditutupi oleh telapak tangannya. Sekarang tentu sudah tidak bisa.

"Taufan dan Gempa sibuk, apalagi Gempa juga baru pemulihan. Aku nggak enak kalau cerita sama mereka."

"Ya—ya, nggak masalah! Masih ada tiga adik lagi! Ada kak Blaze, kak Ice, bahkan masih ada kak Duri. Memangnya, adik-adik Kak Hali nggak ada yang bisa diandalkan, sampai-sampai Kak Hali bertingkah sok kuat begini?"

Halilintar terkekeh. Ini kenapa jadi Solar yang suaranya bergetar menahan tangis begini? Perasaan, tadi yang sedang overwhelmed sama keadaan itu Halilintar, deh. Apa ini bisa menular, ya?

"Solar bisa diandalkan, kok. Adik bungsu Kakak yang satu ini nggak pernah nggak bisa diandalkan. Kakak selalu mengandalkan Solar."

Pecah sudah tangis Solar. Padahal, tadi niatnya menggebu-gebu ingin jadi sandaran Halilintar, kalau begini, ini sih sama saja Halilintar yang jadi sandaran si bungsu.

Namun, Halilintar tidak pernah mempermasalahkan itu. Ia justru menarik Solar dalam pelukannya, dan membiarkan si bungsu menangis dalam dekapannya. Sedikit banyak ia merasa bersalah. Bisa-bisanya karena keegoisan dia yang berusaha sekuat tenaga menanggung semuanya sendiri, ia sampai membuat adiknya merasa tidak bisa diandalkan begini.

"Ke depannya, Kakak mohon bantuannya ya, Solar? Kamu nggak papa kan kalau nanti menampung cerita-cerita ngeselin punya Kakak?"

Rupa Tujuh SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang